William Marthom |
PP No 78 Tahun 2015 adalah Akar Persoalan Kenaikan Upah Minimum yang Harus Dihapuskan !
Oleh : William
Marthom
PADA era pemerintahan Jokowi-JK politik upah murah mulai diterapkan secara terang
benderang di Indonesia diawali dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor
78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP 78/2015). Regulasi tersebut, mengatur
sistem penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota
(UMK) dengan formula berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi/ produk domestic bruto
(PDB) dan inflasi nasional.
Sehingga
sejak berlakunya PP 78/2015, setiap penetapan UMP dan UMK di seluruh wilayah
Indonesia selalu mendapat penolakan keras dari Serikat Pekerja/Buruh. Penolakan
terhadap penetapan upah minimum, disertai pula dengan gelombang aksi massa dan
protes kaum buruh.
Kaum
buruh atau rakyat pekerja dalam aksinya secara umum menuntut penghapusan sistem
politik upah murah dan pencabutan PP 78/2015, serta pembatalan atau revisi UMP
dan UMK yang telah ditetapkan oleh para kepala daerah (gubernur, bupati atau
walikota).
Pasalnya,
penetapan upah minimum yang mengacu pada PP 78/2015 dengan formula berdasarkan PDB
dan inflasi nasional, dinilai menyengsarakan kehidupan kaum buruh, serta rakyat
pekerja pada umumnya.
Akar
persoalan dari sistem politik upah murah di Indonesia yang bermuara pada PP
78/2015 itu, semakin mengkristal setelah Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Kemnakertrans) mengeluarkan keputusan bahwa UMP tahun 2018 naik
sebesar 8,71 persen.
Upaya
penerapan sistem politik upah murah di Indonesia semakin massif dan terstruktur,
secara nyata dilakukan oleh perangkat Negara di bawah rezim Jokowi-JK setelah Menteri
Tenaga Kerja (Mennaker), Hanif Dakhiri mengeluarkan Surat Edaran, tertanggal 13
Oktober 2017, Nomor B.337/M.NAKER/PHIJSK-UPAH/X/2017.
Dalam
surat edaran tersebut, Hanif memerintahkan dan mewajibkan para gubernur se-
Indonesia untuk menetapkan UMP 2018 dan diumumkan secara serentak pada tanggal,
1 November 2017 dengan mengacu pada Pasal 44 ayat (1) dan (2) PP Nomor 78 Tahun
2015 yang menjelaskan bahwa peningkatan nilai UMP berdasarkan formula
penambahan dari angka PDB dan data inflasi nasional.
Mennaker,
Hanif dalam suratnya tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2017 itu, juga menegaskan bahwa UMP
2018 di seluruh wilayah Indonesia naik sebesar 8,71 persen.
Penetapan
kenaikan UMP 2018 sebesar 8,71 persen oleh Mennaker tersebut, berdasarkan kalkulasi
dari inflasi nasional sebesar 3,72 persen ditambah pertumbuhan ekonomi nasional
tahun 2017 sebesar 4,99 persen. Sehingga total peningkatan UMP ditetapkan sebesar
8,71 persen.
Kenaikan
upah minimum di Indonesia yang dibatasi dengan inflansi dan PDB nasional dalam
PP 78/2015 dapat dipastikan nilainya akan sangat kecil sekali. Dengan kata
lain, pemerintah telah membuat kebijakan yang berorientasi pada politk upah
murah.
Setiap Tahun Kenaikan
Upah Minimum di Indonesia Diprediksi Maksimal 10 Persen ;
Kebijakan
seperti ini curang dan tidak adil bagi buruh. Karena apabila kenaikan upah ditentukan
hanya sebatas inflansi ditambah PDB nasional, maka setiap tahun kenaikan upah
minimum di Indonesia dapat diprediksi hanya dalam kisaran maksimal 10 persen.
Padahal
harga kebutuhan pokok di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat tajam, serta
penuh dengan ketidakpastian, sebagai akibat dari adanya kebijakan pemerintahan
Jokowi-JK yang menyerahkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pasang-surut (fluktuatif)
mengikuti harga pasar Internasional sehingga dari waktu kewaktu harga BBM terus
melaju dan dipertajam dengan kenaikan Tarif
Dasar Listrik (TDL).
Kondisi
demikian, jelas merugikan rakyat pekerja pada umumnya karena perwakilan Serikat
Pekerja/Buruh yang duduk dalam Dewan Pengupahan baik pada tingkat provinsi
maupun kabupaten/kota, tidak lagi dilibatkan dalam survey harga pasar, terhadap
seluruh komponen kebutuhan kaum buruh untuk menentukan nilai kebutuhan hidup
layak (KHL) bagi buruh dan keluarganya.
Bahkan
jika perwakilan Serikat Pekerja/Buruh di Dewan Pengupahan masih dilibatkan dalam survey harga pasar
untuk menentukan KHL, namun rekomendasi kenaikan upah minimum oleh Dewan Pengupahan
berdasarkan KHL kepada para kepala daerah, tidak ada gunanya karena kenaikan
upah tetap mengacu pada Pasal 44 ayat (1) dan (2) PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang
Pengupahan yang menjelaskan bahwa peningkatan nilai upah minimum berdasarkan
formula penambahan dari angka PDB dan data inflasi nasional.
Peran
dan fungsi Dewan Pengupahan yang terdiri dari perwakilan buruh dan pengusaha,
serta pemerintah (Dinas Tenaga Kerja) secara otomatis diambil alih oleh Pemerintah
Pusat melalui Badan Pusat Statistik (BPS) karena yang menetapkan besarnya
inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional adalah BPS.
Selain
itu, sistem pengupahan yang mengacu pada PP 78/2015 juga dinilai bertentangan
dengan sejumlah regulasi di Indonesia, yakni UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, serta
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat.
Sehingga
tidaklah berlebihan jika penulis dan kaum buruh di Indonesia mendesak
pencabutan PP 78/2015 karena merupakan kebijakan yang memiskinkan buruh dan mengancam
demokrasi dalam hal kebebasan berserikat.
Itu
juga berarti bahwa rezim Jokowi-JK, tak kalah kejamnya jika dibandingkan dengan
rezim Orde Baru (Orba), Soeharto. Sebab sejak tahun 1982 pada masa Orba,
Serikat Pekerja/Buruh sudah dilibatkan dalam membahas kenaikan upah minimum
melalui mekanisme tripartit yakni antara buruh dan pengusaha, serta pemerintah.
Kebijakan
demikian, juga tidak menjamin rasa keadilan dan justru akan menimbulkan
disparitas, serta kesenjangan sosial diantara sesama kaum buruh di Indonesia. Sebab
pertumbuhan ekonomi dan inflasi pada sejumlah daerah pasti berbeda-beda,
sehingga ketentuan upah yang tercantum dalam PP 78/2015 sudah pasti tidak sesuai
dengan KHL.
Masa
iya, penetapan upah minimum di Indonesia harus merata sebesar 8,71 persen karena
berdasarkan formula angka pertumbuhan ekonomi nasional ditambah data inflasi
nasional ?
Beragam Cara Kaum
Buruh dalam Merespon Penerapan Politik Upah Murah di Indonesia ;
Kendati
demikian, penerapan politik upah murah di Indonesia yang mengabaikan rekomendasi
Dewan Pengupahan berdasarkan hasil survey KHL bagi buruh dan keluarganya, justru
direspon oleh kaum buruh dengan beragam cara.
Misalnya
di Ibukota Negara, UMP tahun 2018 yang ditetapkan oleh Gubernur DKI Jakarta,
Anies Baswedan sebesar Rp 3.648.035. Ini berarti Anies menaikkan UMP 2017 yang
semula Rp 3.355.750 ditambah 8,71 persen atau naiknya cuma Rp 292.285.
Meski
demikian, Anies menyadari bahwa kenaikan UMP DKI Jakarta tahun 2018 tak
sebanding dengan keinginan kaum buruh yang menuntut kenaikan upah sebanyak Rp
1,9 juta. Sehingga, Anies menyertakan tambahan berupa berbagai subsidi yang
akan diberlakukan mulai 1 Januari 2018, bersamaan dengan berlakunya UMP 2018.
Subsidi
tersebut, mencakup subsidi pangan sebesar Rp 885 miliar dan tambahan penerimaan
Kartu Jakarta Pintar senilai Rp 560 miliar, serta memberikan pelayanan
transportasi gratis bagi warga Jakarta yang pendapatannya tidak lebih dari UMP
yang telah ditetapkan.
Akan
tetapi kaum buruh di DKI Jakarta masih saja tetap protes dan mengecam Anies karena
dinilai mengingkari atau melanggar KONTRAK POLITIK yang telah disepakati
bersama dengan Koalisi Buruh Jakarta saat paket Anis-Sandi maju bertarung dalam
Pilgub DKI Jakarta pada awal tahun 2017 lalu.
Bahkan
Koalisi Buruh Jakarta melakukan perlawanan dengan aksi massa secara
besar-besaran di Ibukota Negara dan menyebut Anies-Sandi telah membohongi kaum
buruh. Tidak hanya itu, Koalisi Buruh Jakarta juga menarik dukungan politiknya dan
mengambil sikap politik beroposisi pada pemerintahan Anies-Sandi di DKI
Jakarta.
Kondisi
demikian, berbeda dengan situasi di Sulawesi Selatan (Sulsel) pasca Gubernur
Sulsel, Syahrul Yasin Limpo (SYL) menetapkan UMP tahun 2018 sebesar Rp 2.647.000. SYL menaikkan UMP 2018 sebesar
8,71 persen atau hanya Rp 210.000 dari UMP tahun sebelumnya yang berjumlah Rp
2.430.000.
Pasca
penetapan UMP tahun 2018 tersebut, para elit Serikat Pekerja/Buruh di Sulsel justru
lebih memilih untuk menggugat penetapan UMP Sulsel tahun 2018 melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Makassar. Langkah para elit serikat itu,
menurut hemat penulis adalah strategi dan taktik (Stratak) yang keliru karena
Stratak demikian bakal merugikan kaum buruh.
Pasalnya,
jika kaum buruh lebih memilih jalur hukum formal melalui PTUN untuk membatalkan
UMP yang telah ditetapkan oleh SYL sudah dapat dipastikan, putusannya yang berkekuatan
hukum tetap (inkrach) nantinya baru ada setelah masa berlaku UMP 2018, telah
kadaluarsa atau sudah tidak berlaku lagi.
Karena
proses dan mekanisme hukum formal pada tingkat PTUN berdasarkan hukum acara,
membutuhkan waktu minimal enam bulan, apa lagi dalam gugatan para elit serikat
tersebut, tidak memohonkan proses hukum cepat dengan hakim tunggal. Belum lagi jika
salah satu pihak tidak menerima putusan PTUN Makassar nantinya, maka pasti
berlanjut pada proses banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN) bahkan
hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Meski
demikian, penulis tidak mengharamkan mekanisme hukum formal bagi kaum buruh,
akan tetapi idealnya instrumen hukum postif (formal) dapat ditempuh sembari
memaksimalkan atau mensinergikannya dengan gerakan aksi massa. Dan tidak boleh
bertumpuh semata pada mekanisme hukum formal, sebab putusan hukum di republik
ini tak jarang lepas dari terpaan issu persekongkolan atau permufakatan jahat
antara penguasa dengan pengusaha dan
aparat penegak hukum.
Upaya
pembatalan atau revisi UMP Sulsel tahun 2018 yang menggunakan instrumen hukum
formal melaui PTUN, sejatinya tidak boleh mengandalkan Startak demikian, tetapi
harus disinergiskan dengan instrumen lainnya, seperti aksi massa mendesak dan memaksa
Gubernur Sulsel, SYL untuk merevisi UMP. Karena cara demikian selain diyakini akan
lebih efektif juga dapat menjadi ruang untuk mempraktekkan teori-teori
perjuangan klas.
Sebab
dengan gerakan ekstra parlementer (aksi massa) kaum buruh dapat membuktikan
bahwa buruh bersatu tak bisa dikalahkan dan buruh berkuasa rakyat sejatera. Karena
kata-kata demikian, tidak boleh hanya sebatas slogan atau yel-yel belaka dalam
perjuang kaum buruh untuk mengagitasi massa buruh oleh para elit Serikat Pekerja/Buruh.
Sehingga
jika, SYL tidak mendengarkan aspirasi kaum buruh di Sulsel, maka selain melawan
sikapnya yang demikian dengan terus melancarkan aksi massa dan terus
memaksanya. Kaum buruh di Sulsel juga harus membalas tindakan SYL dengan bersatu-padu
melawan adik kandung SYL yakni Iksan Yasin Limpo (IYL) dalam Pilgub 2018 mendatang.
Sikap
politik yang demikian, selain sebagai sanksi sosial kepada SYL dan
kroni-kroninya, juga sebagai bentuk perlawanan terhadap upaya pembangunan dinasti
politik di Sulsel. Tegasnya, lawan dan hancurkan SYL beserta antek-anteknya,
jangan biarkan untuk berkuasa atau menduduki posisi strategis dimanapun, karena
telah terbukti berpihak pada kaum pemodal dan merugikan rakyat pekerja.
Kenaikan Upah Minimum
Sebesar 8,7 Persen Berlaku pada Semua Daerah di Indonesia ;
Kenaikan
UMP tahun 2018 yang mengacu pada PP 78/2015 tidak hanya berimbas bagi penetapan
UMP di DKI Jakarta dan Sulsel, namun pada semua daerah di Indonesia, seperti di
Provinsi Banten.
Dalam
menetapkan UMP tahun 2018 Gubernur Banten, Wahidin Halim menandatangani kenaikan
UMP Banten menjadi Rp 2.099.385 yang sebelumnya cuma Rp 1.931.180 pada 2017
atau naik sekitar 8,7 persen dengan mengacu pada PP 78/2015.
Sedangkan
di Jawa Tengah (Jateng), Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jateng, menetapkan UMP tahun
2018 sebesar Rp 1.486.065. UMP tersebut naik Rp 119.065 atau 8,7 persen jika dibandingkan
dengan UMP 2017 Rp 1.367.000.
Ganjar
dengan entengnya, tanpa mempertimbangkan nasib kaum buruh dan keluarganya di
Jateng, menerangkan jika penetapan UMP 2018 lebih simpel karena dilaksanakan
berdasarkan PP 78/2015 dengan formula upah buruh ditambah inflasi plus
pertumbuhan ekonomi nasional.
Demikian
pula di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) UMP tahun 2018 ditetapkan oleh Gubernur
DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebanyak Rp1.454.154. Sementara di Jawa
Barat (Jabar) UMP tahun 2018 ditetapkan oleh Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan sebesar
Rp 1.544.360 dan Gubernur Jawa Timur (Jatim), Soekarwo menetapkan UMP tahun
2018 sebesar Rp1.508.895.
Semua
daerah tersebut diatas, menetapkan kenaikan UMP tahun 2018 sebesar 8,7 persen dengan
mengacu pada PP 78/2015 yang menggunakan formula inflasi ditambah pertumbuhan
ekonomi nasional.
Solusi ;
Karena
problem penerapan upah murah di Indonesia secara merata dirasakan oleh seluruh
kaum buruh dan keluarganya, sebagai akibat dari pemberlakuan PP No 78 Tahun
2015 tentang Pengupahan, yang menggunakan formula penetapan upah minimum dengan
cara upah buruh ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Maka
para aktivis Serikat Pekerja/Buruh di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) bersama seluruh kaum buruh dan rakyat pekerja, serta seluruh
komponen elemen gerakan rakyat harus bersatu padu melawan regulasi tersebut,
dengan cara menggelar aksi massa dan mogok kerja nasional secara serentak untuk
menuntut pencabutan atau penghapusan PP 78/2015 sebagai solusi kongkrit dalam
melawan politik upah murah di Indonesia.
Selain
itu, rakyat pekerja melalui Serikat Pekerja/Buruh yang menjadi wadah persatuan
dan perjuangan kaum buruh harus mengajukan gugatan pencabutan PP 78/2015 ke
Mahkamah Konstitusi (MK) karena regulasi ini, selain bertentangan dengan
konstitusi bangsa (UUD 1945) juga bertentangan dengan sejumlah undang-undang dan
ketentuan yang berlaku di Indonesia.
Sementara,
terkait dengan Kontrak Politik antara kaum buruh dengan para elit politik,
mestinya harus berdasarkan analisis dan kajian yang mendalam secara teliti
dengan cara mencoba mencari tahu rekam jejak atau masa lalu (track record) elit
yang akan didukung dalam pertarungan politik elektoral. Sehingga kaum buruh
tidak dirugikan karena tertipu oleh elit politik itu nantinya, seperti kejadian
yang menimpa Koalisi Buruh Jakarta dalam Pilgub DKI Jakarta ketika Anies-Sandi
ingkar janji.
Selamat Berjuang dan Buktikan
!!!
Buruh Bersatu Tak
Bisa Dikalahkan !!!
Buruh Berkuasa Rakyat
Sejatra !!!
**) Penulis adalah Aktivis
Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) tidak bertanggung jawab atas komentar yang anda tulis pada halaman komentar, admin situs ini juga akan menghapus komentar yang tidak objektif dan atau postingan yang berbau SARA.