Minggu, 12 November 2017

Jokowi-JK Terapkan Politik Upah Murah di Indonesia Melalui PP No 78 Tahun 2015

William Marthom
PP No 78 Tahun 2015 adalah Akar Persoalan Kenaikan Upah Minimum yang Harus Dihapuskan !

Oleh : William Marthom

PADA era pemerintahan Jokowi-JK politik upah murah mulai diterapkan secara terang benderang di Indonesia diawali dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (PP 78/2015). Regulasi tersebut, mengatur sistem penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dengan formula berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi/ produk domestic bruto (PDB) dan inflasi nasional.

Sehingga sejak berlakunya PP 78/2015, setiap penetapan UMP dan UMK di seluruh wilayah Indonesia selalu mendapat penolakan keras dari Serikat Pekerja/Buruh. Penolakan terhadap penetapan upah minimum, disertai pula dengan gelombang aksi massa dan protes kaum buruh.

Kaum buruh atau rakyat pekerja dalam aksinya secara umum menuntut penghapusan sistem politik upah murah dan pencabutan PP 78/2015, serta pembatalan atau revisi UMP dan UMK yang telah ditetapkan oleh para kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota).

Pasalnya, penetapan upah minimum yang mengacu pada PP 78/2015 dengan formula berdasarkan PDB dan inflasi nasional, dinilai menyengsarakan kehidupan kaum buruh, serta rakyat pekerja pada umumnya.

Akar persoalan dari sistem politik upah murah di Indonesia yang bermuara pada PP 78/2015 itu, semakin mengkristal setelah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) mengeluarkan keputusan bahwa UMP tahun 2018 naik sebesar 8,71 persen.

Upaya penerapan sistem politik upah murah di Indonesia semakin massif dan terstruktur, secara nyata dilakukan oleh perangkat Negara di bawah rezim Jokowi-JK setelah Menteri Tenaga Kerja (Mennaker), Hanif Dakhiri mengeluarkan Surat Edaran, tertanggal 13 Oktober 2017, Nomor B.337/M.NAKER/PHIJSK-UPAH/X/2017.

Dalam surat edaran tersebut, Hanif memerintahkan dan mewajibkan para gubernur se- Indonesia untuk menetapkan UMP 2018 dan diumumkan secara serentak pada tanggal, 1 November 2017 dengan mengacu pada Pasal 44 ayat (1) dan (2) PP Nomor 78 Tahun 2015 yang menjelaskan bahwa peningkatan nilai UMP berdasarkan formula penambahan dari angka PDB dan data inflasi nasional.

Mennaker, Hanif dalam suratnya tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2017 itu, juga menegaskan bahwa UMP 2018 di seluruh wilayah Indonesia naik sebesar 8,71 persen.

Penetapan kenaikan UMP 2018 sebesar 8,71 persen oleh Mennaker tersebut, berdasarkan kalkulasi dari inflasi nasional sebesar 3,72 persen ditambah pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2017 sebesar 4,99 persen. Sehingga total peningkatan UMP ditetapkan sebesar 8,71 persen.

Kenaikan upah minimum di Indonesia yang dibatasi dengan inflansi dan PDB nasional dalam PP 78/2015 dapat dipastikan nilainya akan sangat kecil sekali. Dengan kata lain, pemerintah telah membuat kebijakan yang berorientasi pada politk upah murah.

Setiap Tahun Kenaikan Upah Minimum di Indonesia Diprediksi Maksimal 10 Persen ;

Kebijakan seperti ini curang dan tidak adil bagi buruh. Karena apabila kenaikan upah ditentukan hanya sebatas inflansi ditambah PDB nasional, maka setiap tahun kenaikan upah minimum di Indonesia dapat diprediksi hanya dalam kisaran maksimal 10 persen.

Padahal harga kebutuhan pokok di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat tajam, serta penuh dengan ketidakpastian, sebagai akibat dari adanya kebijakan pemerintahan Jokowi-JK yang menyerahkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pasang-surut (fluktuatif) mengikuti harga pasar Internasional sehingga dari waktu kewaktu harga BBM terus melaju dan dipertajam dengan  kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL).

Kondisi demikian, jelas merugikan rakyat pekerja pada umumnya karena perwakilan Serikat Pekerja/Buruh yang duduk dalam Dewan Pengupahan baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, tidak lagi dilibatkan dalam survey harga pasar, terhadap seluruh komponen kebutuhan kaum buruh untuk menentukan nilai kebutuhan hidup layak (KHL) bagi buruh dan keluarganya.

Bahkan jika perwakilan Serikat Pekerja/Buruh di Dewan Pengupahan  masih dilibatkan dalam survey harga pasar untuk menentukan KHL, namun rekomendasi kenaikan upah minimum oleh Dewan Pengupahan berdasarkan KHL kepada para kepala daerah, tidak ada gunanya karena kenaikan upah tetap mengacu pada Pasal 44 ayat (1) dan (2) PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang menjelaskan bahwa peningkatan nilai upah minimum berdasarkan formula penambahan dari angka PDB dan data inflasi nasional.

Peran dan fungsi Dewan Pengupahan yang terdiri dari perwakilan buruh dan pengusaha, serta pemerintah (Dinas Tenaga Kerja) secara otomatis diambil alih oleh Pemerintah Pusat melalui Badan Pusat Statistik (BPS) karena yang menetapkan besarnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional adalah BPS.

Selain itu, sistem pengupahan yang mengacu pada PP 78/2015 juga dinilai bertentangan dengan sejumlah regulasi di Indonesia, yakni UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, serta Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat.

Sehingga tidaklah berlebihan jika penulis dan kaum buruh di Indonesia mendesak pencabutan PP 78/2015 karena merupakan kebijakan yang memiskinkan buruh dan mengancam demokrasi dalam hal kebebasan berserikat.

Itu juga berarti bahwa rezim Jokowi-JK, tak kalah kejamnya jika dibandingkan dengan rezim Orde Baru (Orba), Soeharto. Sebab sejak tahun 1982 pada masa Orba, Serikat Pekerja/Buruh sudah dilibatkan dalam membahas kenaikan upah minimum melalui mekanisme tripartit yakni antara buruh dan pengusaha, serta pemerintah.

Kebijakan demikian, juga tidak menjamin rasa keadilan dan justru akan menimbulkan disparitas, serta kesenjangan sosial diantara sesama kaum buruh di Indonesia. Sebab pertumbuhan ekonomi dan inflasi pada sejumlah daerah pasti berbeda-beda, sehingga ketentuan upah yang tercantum dalam PP 78/2015 sudah pasti tidak sesuai dengan KHL.   

Masa iya, penetapan upah minimum di Indonesia harus merata sebesar 8,71 persen karena berdasarkan formula angka pertumbuhan ekonomi nasional ditambah data inflasi nasional ?

Beragam Cara Kaum Buruh dalam Merespon Penerapan Politik Upah Murah di Indonesia ;

Kendati demikian, penerapan politik upah murah di Indonesia yang mengabaikan rekomendasi Dewan Pengupahan berdasarkan hasil survey KHL bagi buruh dan keluarganya, justru direspon oleh kaum buruh dengan beragam cara.

Misalnya di Ibukota Negara, UMP tahun 2018 yang ditetapkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan sebesar Rp 3.648.035. Ini berarti Anies menaikkan UMP 2017 yang semula Rp 3.355.750 ditambah 8,71 persen atau naiknya cuma Rp 292.285.

Meski demikian, Anies menyadari bahwa kenaikan UMP DKI Jakarta tahun 2018 tak sebanding dengan keinginan kaum buruh yang menuntut kenaikan upah sebanyak Rp 1,9 juta. Sehingga, Anies menyertakan tambahan berupa berbagai subsidi yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2018, bersamaan dengan berlakunya UMP 2018.

Subsidi tersebut, mencakup subsidi pangan sebesar Rp 885 miliar dan tambahan penerimaan Kartu Jakarta Pintar senilai Rp 560 miliar, serta memberikan pelayanan transportasi gratis bagi warga Jakarta yang pendapatannya tidak lebih dari UMP yang telah ditetapkan.

Akan tetapi kaum buruh di DKI Jakarta masih saja tetap protes dan mengecam Anies karena dinilai mengingkari atau melanggar KONTRAK POLITIK yang telah disepakati bersama dengan Koalisi Buruh Jakarta saat paket Anis-Sandi maju bertarung dalam Pilgub DKI Jakarta pada awal tahun 2017 lalu.

Bahkan Koalisi Buruh Jakarta melakukan perlawanan dengan aksi massa secara besar-besaran di Ibukota Negara dan menyebut Anies-Sandi telah membohongi kaum buruh. Tidak hanya itu, Koalisi Buruh Jakarta juga menarik dukungan politiknya dan mengambil sikap politik beroposisi pada pemerintahan Anies-Sandi di DKI Jakarta.

Kondisi demikian, berbeda dengan situasi di Sulawesi Selatan (Sulsel) pasca Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo (SYL) menetapkan UMP tahun 2018 sebesar  Rp 2.647.000. SYL menaikkan UMP 2018 sebesar 8,71 persen atau hanya Rp 210.000 dari UMP tahun sebelumnya yang berjumlah Rp 2.430.000.

Pasca penetapan UMP tahun 2018 tersebut, para elit Serikat Pekerja/Buruh di Sulsel justru lebih memilih untuk menggugat penetapan UMP Sulsel tahun 2018 melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Makassar. Langkah para elit serikat itu, menurut hemat penulis adalah strategi dan taktik (Stratak) yang keliru karena Stratak demikian bakal merugikan kaum buruh.

Pasalnya, jika kaum buruh lebih memilih jalur hukum formal melalui PTUN untuk membatalkan UMP yang telah ditetapkan oleh SYL sudah dapat dipastikan, putusannya yang berkekuatan hukum tetap (inkrach) nantinya baru ada setelah masa berlaku UMP 2018, telah kadaluarsa atau sudah tidak berlaku lagi.

Karena proses dan mekanisme hukum formal pada tingkat PTUN berdasarkan hukum acara, membutuhkan waktu minimal enam bulan, apa lagi dalam gugatan para elit serikat tersebut, tidak memohonkan proses hukum cepat dengan hakim tunggal. Belum lagi jika salah satu pihak tidak menerima putusan PTUN Makassar nantinya, maka pasti berlanjut pada proses banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT-TUN) bahkan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

Meski demikian, penulis tidak mengharamkan mekanisme hukum formal bagi kaum buruh, akan tetapi idealnya instrumen hukum postif (formal) dapat ditempuh sembari memaksimalkan atau mensinergikannya dengan gerakan aksi massa. Dan tidak boleh bertumpuh semata pada mekanisme hukum formal, sebab putusan hukum di republik ini tak jarang lepas dari terpaan issu persekongkolan atau permufakatan jahat antara penguasa  dengan pengusaha dan aparat penegak hukum.

Upaya pembatalan atau revisi UMP Sulsel tahun 2018 yang menggunakan instrumen hukum formal melaui PTUN, sejatinya tidak boleh mengandalkan Startak demikian, tetapi harus disinergiskan dengan instrumen lainnya, seperti aksi massa mendesak dan memaksa Gubernur Sulsel, SYL untuk merevisi UMP. Karena cara demikian selain diyakini akan lebih efektif juga dapat menjadi ruang untuk mempraktekkan teori-teori perjuangan klas.

Sebab dengan gerakan ekstra parlementer (aksi massa) kaum buruh dapat membuktikan bahwa buruh bersatu tak bisa dikalahkan dan buruh berkuasa rakyat sejatera. Karena kata-kata demikian, tidak boleh hanya sebatas slogan atau yel-yel belaka dalam perjuang kaum buruh untuk mengagitasi massa buruh oleh para elit Serikat Pekerja/Buruh.

Sehingga jika, SYL tidak mendengarkan aspirasi kaum buruh di Sulsel, maka selain melawan sikapnya yang demikian dengan terus melancarkan aksi massa dan terus memaksanya. Kaum buruh di Sulsel juga harus membalas tindakan SYL dengan bersatu-padu melawan adik kandung SYL yakni Iksan Yasin Limpo (IYL) dalam Pilgub 2018 mendatang.

Sikap politik yang demikian, selain sebagai sanksi sosial kepada SYL dan kroni-kroninya, juga sebagai bentuk perlawanan terhadap upaya pembangunan dinasti politik di Sulsel. Tegasnya, lawan dan hancurkan SYL beserta antek-anteknya, jangan biarkan untuk berkuasa atau menduduki posisi strategis dimanapun, karena telah terbukti berpihak pada kaum pemodal dan merugikan rakyat pekerja.

Kenaikan Upah Minimum Sebesar 8,7 Persen Berlaku pada Semua Daerah di Indonesia ;

Kenaikan UMP tahun 2018 yang mengacu pada PP 78/2015 tidak hanya berimbas bagi penetapan UMP di DKI Jakarta dan Sulsel, namun pada semua daerah di Indonesia, seperti di Provinsi Banten.

Dalam menetapkan UMP tahun 2018 Gubernur Banten, Wahidin Halim menandatangani kenaikan UMP Banten menjadi Rp 2.099.385 yang sebelumnya cuma Rp 1.931.180 pada 2017 atau naik sekitar 8,7 persen dengan mengacu pada PP 78/2015.

Sedangkan di Jawa Tengah (Jateng), Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jateng, menetapkan UMP tahun 2018 sebesar Rp 1.486.065. UMP tersebut naik Rp 119.065 atau 8,7 persen jika dibandingkan dengan UMP 2017 Rp 1.367.000.

Ganjar dengan entengnya, tanpa mempertimbangkan nasib kaum buruh dan keluarganya di Jateng, menerangkan jika penetapan UMP 2018 lebih simpel karena dilaksanakan berdasarkan PP 78/2015 dengan formula upah buruh ditambah inflasi plus pertumbuhan ekonomi nasional.

Demikian pula di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) UMP tahun 2018 ditetapkan oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, sebanyak Rp1.454.154. Sementara di Jawa Barat (Jabar) UMP tahun 2018 ditetapkan oleh Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan sebesar Rp 1.544.360 dan Gubernur Jawa Timur (Jatim), Soekarwo menetapkan UMP tahun 2018 sebesar Rp1.508.895.

Semua daerah tersebut diatas, menetapkan kenaikan UMP tahun 2018 sebesar 8,7 persen dengan mengacu pada PP 78/2015 yang menggunakan formula inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi nasional.

Solusi ;

Karena problem penerapan upah murah di Indonesia secara merata dirasakan oleh seluruh kaum buruh dan keluarganya, sebagai akibat dari pemberlakuan PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yang menggunakan formula penetapan upah minimum dengan cara upah buruh ditambah inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Maka para aktivis Serikat Pekerja/Buruh di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersama seluruh kaum buruh dan rakyat pekerja, serta seluruh komponen elemen gerakan rakyat harus bersatu padu melawan regulasi tersebut, dengan cara menggelar aksi massa dan mogok kerja nasional secara serentak untuk menuntut pencabutan atau penghapusan PP 78/2015 sebagai solusi kongkrit dalam melawan politik upah murah di Indonesia.

Selain itu, rakyat pekerja melalui Serikat Pekerja/Buruh yang menjadi wadah persatuan dan perjuangan kaum buruh harus mengajukan gugatan pencabutan PP 78/2015 ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena regulasi ini, selain bertentangan dengan konstitusi bangsa (UUD 1945) juga bertentangan dengan sejumlah undang-undang dan ketentuan yang berlaku di Indonesia.

Sementara, terkait dengan Kontrak Politik antara kaum buruh dengan para elit politik, mestinya harus berdasarkan analisis dan kajian yang mendalam secara teliti dengan cara mencoba mencari tahu rekam jejak atau masa lalu (track record) elit yang akan didukung dalam pertarungan politik elektoral. Sehingga kaum buruh tidak dirugikan karena tertipu oleh elit politik itu nantinya, seperti kejadian yang menimpa Koalisi Buruh Jakarta dalam Pilgub DKI Jakarta ketika Anies-Sandi ingkar janji.

Selamat Berjuang dan Buktikan !!!
Buruh Bersatu Tak Bisa Dikalahkan !!!
Buruh Berkuasa Rakyat Sejatra !!!

**) Penulis adalah Aktivis Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) tidak bertanggung jawab atas komentar yang anda tulis pada halaman komentar, admin situs ini juga akan menghapus komentar yang tidak objektif dan atau postingan yang berbau SARA.