Rabu, 27 Maret 2013

Warga Timampu Mengugat, PT. Vale Indonesia Tbk Jangan Bohong!

“PT. Vale Indonesia Tbk Berkelit Telah Mengganti Rugi Lahan Warga”

Oleh: William Marthom
“Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Serikat Rakyat Miskin Demokratik (DPP SRMD)”

William Marthom
Perusahan tambang adalah masalah bagi masyarakat sekitarnya:

Dimana- mana kehadiran sebuah perusahaan pertambangan akan menjadi sebuah masalah dan ancaman bagi masyarakat. Konkritnya bahwa kehadiran sebuah perusahaan tambang akan menjadi sebuah permasalahan baru bagi masyarakat di sekitar lingkungan perusahaan itu beroperasi. Kehadiran perusahaan tambang tersebut secara umum akan memunculkan masalah baru yakni  pengambil alihan lahan garapan serta tempat pemukiman masyarakat, penghapusan atau perampasan hak- hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka yang telah dimiliki secara turun temurun, rusaknya lingkungan dan ekosistem, serta pencemaran lingkungan akibat limbah perusahaan.

Semua permasalahan yang terjadi atau dihadapi oleh masyarakat disekitar wilayah tambang sulit terhindarkan. Misalnya kehilangan lahan garapan pertanian warga, yang biasanya dikelolah sebagai sumber penghidupan, begitu mudahnya diambil alih oleh perusahaan walau terkadang tanpa ganti rugi, “seperti kasus pengalifungsian sawah dan ladang milik warga di Dusun Balambano, Desa Balambano, Kecamatan Wasuponda, Kabupaten Luwu Timur (Lutim), Sulawesi Selatan (Sulsel)”, yang dialih fungsikan menjadi jalan raya dan lokasi pembangunan Dam (bendungan) Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Larona II milik PT. Vale Indonesia Tbk.

Demikian juga dengan pengambil alihan tanah adat Suku PASITABE (Padoe, Karunsi’e dan Tambe’e) yang terpaksa direlokasi ke Kampung Dongi, Desa Leduledu, Kec. Wasuponda, Lutim. Hal itu tentunya berakibat selain kehilangan mata pencaharian dan identitas adat masyarakat sekitar juga menjadi permasalahan tersendiri dari keberadaan perusahaan tambang. Akibat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan perusahaan tambang maka penduduk sekitar perusahaan tersebut kehilangan lahan pertaniannya. Masyarakat adat juga kehilangan tanah adat, yang merupakan warisan leluhur mereka, ketika perusahaan tambang mulai beroperasi.
Gunung yang gundul akibat ditambang, rentan mengakibatkan
bahaya banjir dan longsor (int)
Belum lagi jika mengingat kerusakan yang ditimbulkan perusahaan tambang terhadap lingkungan sekitarnya. Perusakan hutan lindung di kawasan tambang dan proyek pembangunan Dam PLTA Larona III milik perusahaan tambang di aliran sungai Larona, Desa Karebbe, Kec. Malili, Lutim, telah menyebabkan terancamnya kelestarian flora dan fauna di kawasan tersebut. Hutan yang gundul tentu saja akan berdampak pada terjadinya bencana longsor dan banjir ketika hujan turun dengan deras, dan pada akhirnya akan mengancam penduduk yang berada di dataran rendah, khususnya bagi masyarakat yang berada disepanjang bantaran sungai Larona. Apa lagi jika Dam PLTA Larona I atau II dan atau III milik perusahaan jebol, maka sudah dapat dipastikan bahwa masyarakat se Kec. Malili, Lutim akan disapu banjir bandang buatan perusahaan tambang tersebut.
Kontrak Karya Perusahaan Tambang Menjadi Dalil Perampasan Hak- Hak Masyarakat:

Atas dasar hak perusahaan atau korporasi yang telah memiliki berbagai macam perizinan, sehingga dengan bermodalkan izin tersebut dan atau kontrak karya, hak- hak masyarakat setempat dicaplok, serta dirampas karena semua lahan milik masyarakat masuk dalam wilayah konsesi perusahaan berdasarkan kontrak karya perusahaan tambang tersebut. Seperti keberadaan perusahaan nikel raksasa yang hingga saat ini, telah 35 tahun lebih beroperasi di Kabupaten Luwu Timur (Lutim), Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), khususnya di empat kecamatan yang ada di Kabupaten Lutim yakni Kec. Malili, Wasuponda, Towuti dan Nuha.

Asal Usul Masuknya Perusahaan  Tambang Nikel di Luwu Timur:

Data yang dikutip dari situs resmi PT. INCO Tbk menyebutkan bahwa PT INCO Tbk didirikan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan berdiri sejak 25 Juli 1968. Pada 27 Juli 1969 dilakukan penandatanganan kontrak karya untuk jangka waktu 30 tahun sejak dimulainya produksi komersial per 1 April 1978 hingga 31 Maret 2008. Pada 15 Januari 1996 dilakukan modifikasi dan atau perpanjangan kontrak karya untuk 30 tahun kedua untuk menjamin penguasaan lingkungan bisnis yang stabil hingga tahun 2025. Dan pada tanggal 1 Oktober 2011 saham PT. INCO dialihkan atau dijual kepada PT. Vale Indonesia, Tbk yang semenjak itu pula seluruh wilayah konsesi PT. INCO yang ada dalam kontrak karya sepenuhnya beralih ke PT. Vale Indonesia Tbk, demikian pula dengan segala kewajiban- kewajiban PT. INCO tentunya beralih pula ke PT. Vale.

Sebagai gambaran, PT Vale baru mengeksploitasi 4.500 hektar dari sekitar 190.000 hektar area konsesi. Saat ini lebih dari 3.500 hektar areal yang telah dibuka, sudah ditutup kembali. Tersisa bukaan sekitar 1.000 hektar yang meliputi area tambang hingga perkantoran dan perumahan. Saham PT. Vale sebagian besar dikuasai oleh pemodal Brazil sebesar 50% lebih, dan sebanyak 20% dikuasai oleh pemodal asal Jepang, yang selebihnya sekitar 20% dikuasai oleh publik.

Keuntungan Perusahaan Tambang Nikel di Luwu Timur:
Keuntungan yang diterima oleh PT INCO selama beroperasi pun tidak tanggung-tanggung. Tahun 1989 saja, keuntungan bersih PT INCO sebesar US$ 182 juta. Total keuntungan PT INCO dari 1988 hingga 1998, di luar tahun 1990, 1991, 1992 dan 1993, mencapai US$ 588 juta. Sementara pendapatan pemerintah antara tahun 1988-1998, hanya US$ 25,7 juta dalam bentuk royalti, pajak perusahaan, sewa tanah dan sewa air. Pada Kontrak Karya I, royalti yang diterima pemerintah Indonesia dari PT INCO hanya sebesar 0,015% dari harga setiap kilogram nikel. Sewa lahan tambang setiap tahunnya hanya sebesar US$ 1 per hektar per tahun. Dalam Kontrak Karya II, sewa lahan tambang dinaikkan menjadi US$ 1,5 per hektar per tahun, namun royalti sama sekali tidak berubah.
Sementara di kuartal pertama tahun 2011 saja, PT INCO meraih laba bersih sebesar Rp 962,34 miliar atau US$ 111,9 juta. Angka ini naik 47 % jika dibandingkan labah bersih periode yang sama pada tahun 2010 yang mencapai Rp 655,32 miliar atau US$ 76,2 juta. Keseluruhan laba bersih PT INCO Tbk di tahun 2010 mencapai US$ 437,4 juta. Laba bersih pada tahun 2010 ini meningkat sebesar 156,7 % dari laba bersih di tahun 2009 yang mencapai US$ 170,4 juta.
Kamis, 26 Januari 2012 diberitakaan di COMPAS. COM, bahwa  saham PT Vale Indonesia (Eks PT. INCO Tbk) mencatatkan kenaikan pada transaksi pagi itu, tepat pada pukul 10.41, saham PT. Vale melaju 2,08 persen menjadi Rp 3.675. Berdasarkan data Bloomberg, dua broker teraktif yang mengempit saham ini adalah: Deutsche Securities senilai Rp 8,54 miliar, JPMorgan Securities senilai Rp 917,5 juta.


Disinyalir, pergerakan saham PT. Vale bergerak mengikuti harga kontrak nikel dunia yang melaju 1,5 persen menjadi 20,925 dollar AS metrik ton di London, tertanggal, 25 January 2012. Ini merupakan level tertinggi sejak 20 September  2011 lalu. Pasca penutupan transaksi perdagangan elektronik, harga nikel berada di posisi 21.000 dollar AS.
Coba bayangkan berapa kali lipat keuntungan perusahaan setelah PT. Vale yang mengambil alih PT. INCO dan mengoperasikan perusahaan tambang nikel tersebut di Lutim, saat PT. Vale melakukan pengembangan bisnis yang meliputi peningkatan kapasitas smelter hingga produksi dari selama ini 70.000 ton nikel (pada saat masih PT. INCO yang mengoperasikan tambang) menjadi 120.000 ton setelah PT. Vale, seperti yang pernah dibeberkan oleh Presiden Direktur/CEO PT. Vale, Nicolaas D Kanter yang akrab disapa Nico Kanter,yang dilansir media pada awal februari 2013 sebulan lalu.
Mempertanyakan Manfaat Yang Diberikan Perusahaan Tambang Nicel di Luwu Timur:
Lalu apa artinya keuntungan perusahaan tambang nikel yang berlipat-lipat tersebut terhadap masyarakat sekitar perusahaan? Kenyataannya masih ada sekitar 23.737 jiwa atau 9,18% penduduk miskin yang berada di wilayah Lutim. Apalagi jika mengingat kerusakan yang ditimbulkan PT. Vale Indonesia Tbk terhadap lingkungan sekitarnya.
Seperti kasus yang menimpa 192 kepala keluarga (KK) warga Desa Timampu, Kec. Towuti, Kab. Lutim, Sulsel, yang tenggelam lahan pertaniannya sekitar 144 hektar akibat pembangunan Dam Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Larona I milik PT. Vale Indonesia Tbk.
Ratusan warga Timampu menggelar aksi unjukrasa

menuntut perusahaan untuk mengganti rugi lahan 
warga yang tenggelam akibat pembangun Dam PLTA 
milik perusahaan (Dok. Aksi SRMD)
Lahan Pertanian Tenggelam Akibat Dam PLTA Larona I, Warga Timampu Demo Meminta Kompensasi Perusahaan:

Dalam dua bulan terakhir (February & Maret) di tahun 2013 PT. Vale, setidaknya beberapa kali di demo oleh Warga Desa Timapu, Kec. Towuti, Kab. Lutim, terkait dengan pembayaran kompensasi ratusan hektar lahan warga Timampu yang tenggelam akibat pembangunan Dam PLTA Larona I milik PT. Vale.
Seperti yang terjadi pada tanggal, 11- 15 February 2013 lalu sekitar 500an warga menggelar aksi unjukrasa menuntut pembayaran kompensasi lahan warga yang tenggelam. Aksi warga diwarnai dengan swiping kendaraan milik PT. Vale dan karyawan PT. Vale yang berakibat ratusan karyawan PT. Vale tidak bisa masuk bekerja karena dirasia/dijegat oleh para pengunjukrasa. Aksi yang sama juga kembali terjadi pada tanggal, 20- 23 Maret 2013, walau aksi warga sempat direpresif, dibubarkan paksa dan sejumlah warga ditangkapi pada Jumat, 22 Maret 2013 warga tak gentar dan tetap turun aksi pada Sabtu, 23 Maret 2013.
Nico Kanter (int)
PT. Vale Klaim Sudah Mengganti Rugi Lahan, Warga Timampu Protes:
Peristiwa tenggelamnya ratusan hektar lahan warga Timampu, yang terjadi sejak tahun 1975 semenjak Dam PLTA Larona I dibangun oleh perusaan, namun hingga kini permasalahan tersebut tak kunjung selesai. Kendati demikian pihak perusahaan lewat Presiden Direktur/ CEO PT. Vale Indonesia Tbk Nico Kanter, mengatakan bahwa ganti rugi lahan warga Timampu yang tenggelam akibat pembangunan Dam PLTA Larona I, sudah diselesaikan perusahaan sejak tahun 1982 (30 tahun yang lalu) dalam bentuk penyediaan sarana listrik, semen 200 zak dan 2 unit traktor.
Dalam siaran persnya pada Jumat, 22 Maret 2013 Nico Kanter, mengatakan bahwa PT INCO Tbk (waktu itu) bekerjasama dengan Pemda Luwu (waktu itu sebelum pemekaran kabupaten/Kab. Lutim belum mekar) telah memberikan kompensasi kepada masyarakat Desa Timampu, dalam bentuk penyediaan sarana listrik, dua buah traktor dan 200 zak semen sesuai dengan harapan masyarakat ketika itu.

Menurut Nico Kanter, terkait dengan peristiwa tahun 1997/1998 dimana sejumlah tanaman yang ditanam kembali oleh masyarakat Timampu di lahan yang sama akibat musim kemarau dan kemudian tergenang lagi ketika ketinggian air danau kembali naik seperti biasanya, juga telah diselesaikan oleh PT INCO Tbk (bekerjasama dengan Pemda Luwu) dengan memberikan bantuan kemanusiaan untuk empat Desa pesisir Danau Towuti, termasuk Desa Timampu.

PT.Vale , juga menyatakan dalam pertemuan 25 Februari 2013 lalu PT. Vale, telah menyatakan siap untuk segera menyelesaikan komitmen yang tercantum di dalam Surat Perjanjian Persetujuan yang ditandatangani oleh Pemda, PT INCO Tbk dan perwakilan masyarakat tertangg, l 5 Agustus 2000, dalam hal ini disebutkan bahwa Pemda Luwu Utara (kala itu baru Luwu Utara yang dimekarkan dari Kab. Luwu/ Kab. Lutim belum mekar kala itu) dan PT INCO Tbk akan mengupayakan lahan perkebunan untuk masyarakat Timampu, yang mana luas dan pelaksanaannya akan dikondisikan dengan situasi lahan yang akan diberikan dan dengan mengikuti aturan pemerintah. Dan untuk memenuhi isi Surat Perjanjian Persetujuan tersebut, PT Vale Indonesia Tbk telah menyatakan komitmennya untuk memberikan bantuan, “bukan ganti rugi lahan” sebagai upaya penggantian penyediaan lahan perkebunan tersebut sebesar Rp 32,5 juta per hektar.

Terkait luas lahan yang dimaksud akan diverifikasi lebih lanjut di lapangan oleh tim gabungan yang terdiri dari wakil masyarakat, PT Vale dan Pemda serta instansi terkait. Proses negosiasi penyelesaian tuntutan ini telah dilakukan sejak bulan Oktober 2012 baik dilakukan secara informal maupun melalui pertemuan yang dimediasi oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Luwu Timur, DPRD Luwu Timur, maupun Polres/Polsek setempat. Awalnya, Tim Panitia Penyelesaian menuntut ganti rugi sebesar Rp 160.965.081.200 kepada PT Vale Indonesia Tbk atas tergenangnya lahan masyarakat Timampu tersebut.

Aksi warga Timampu yang mendesak perusahaan untuk
segera membayar ganti rugi lahan pertanian warga yang 
tenggelam akibat pembangun Dam PLTA milik perusahaan
(Dok. Aksi SRMD)
Tanggapan Untuk Pernyataan PT. Vale Indonesia Tbk:

Angka Rp. 160, 9 milliar menurut perhitungan warga yang dituntut ke PT. Vale, adalah hal yang wajar. Sebab jika mengacu ke Perjanjian Persetujuan yang ditanda tangani oleh perusahaan, Pemda dan perwakilan masyarakat dinyatakan bahwa perusahaan akan memberikan lahan perkebunan kepada masyarakat Timampu yang merupakan korban pembangunan Dam PLTA Larona I, jika dalam pembagian lahan untuk warga korban genangan air Dam PLTA Larona I dirata- ratakan setiap KK mendapat 1 hektar lahan untuk 192 KK warga yang lahannya tergenang dengan mengacu ke perhitungan, “ Badan Penyuluh Pertanian dan Perikanan Kab. Lutim”, yang menyatakan bahwa untuk 1 hektar kebun merica, maka dibutuhkan biaya sekitar Rp. 215 juta per hektarnya.

Sementara warga meminta kompensasi atau ganti rugi terhadap lahan mereka adalah Rp. 250 juta perhektar, sedangkan pihak perusahaan hanya menawarkan dana bantuan menurut mereka sebesar Rp. 32,5 juta per hektar dinilai warga sebagai sebuah penghinaan atau pelecehan. Apa iya ada warga di Timampu yang tanahnya mau dinilai seharga Rp. 32, 5 juta perhektar?

Demikian juga dengan penyesaian ganti rugi lahan warga pada tahun 1982 (30 tahun lalu) apa ada orang yang tanahnya ditenggelamkan seluas 144 hektar oleh perusahaan dan mau, hanya diganti rugi dengan fasilitas listrik, 200 zak semen dan 2 unit traktor? Pertanyaannya kemudian adalah jika 192 KK pemilik lahan mendapat fasilitas listrik pada tahun 1982 di Timampu itu artinya bahwa sejak 30 tahun yang lalu sedikitnya ada 192 KK warga Timampu telah menikmati yang namanya penerangan listrik, namun faktanya tidak demikian, yang artinya Nico Kater, berbohong dalam hal ini.

Kemudian jika pada tahun 1982, para pemilik lahan tenggelam di Timampu akibat Dam PLTA Larona I milik perusahaan, sebanyak 192 KK kala itu mau menerima 200 zak semen sebagai ganti rugi lahan mereka yang ditenggelamkan perusahaan itu artinya bahwa setiap KK hanya mendapat 1,01 zak semen (hanya mendapat 1 zak lebih/KK). Jika faktanya demikian, akan muncul pertanyaan bahwa 1,01 zak semen oleh setiap warga pada saat itu hendak digunakan untuk apa oleh warga?

Juga 2 unit traktor untuk 192 KK yang dimiliki secara kolektiv (milik bersama para korban Dam PLTA Laron I) kala itu hendak dipergunakan untuk apa sementara lahan pertanian mereka sudah ludes tergenang air danau akibat pembangunan Dam PLTA Larona I milik perusahaan tambang nikel raksasa itu.

Selain itu, jika benar perusahaan telah mengganti rugi lahan warga sejak tahun 1982, lantas kenapa pada tanggal, 15 Agustus 2000 pihak perusahaan, Pemda dan perwakilan warga, mau membuat dan menandatangani Surat Perjanjian Persetujuan, yang dalam hal ini disebutkan bahwa Pemda Luwu Utara (kala itu baru Luwu Utara yang dimekarkan dari Kab. Luwu/ Kab. Lutim belum mekar kala itu) dan PT INCO Tbk akan mengupayakan lahan perkebunan untuk masyarakat Timampu yang lahannya tenggelam akibat pembangunan Dam PLTA Larona I.

PT. Vale Jangan Mengadu- Domba Warga Dengan Aparat:

Sikap manajemen PT. Vale yang kurang respon terhadap tuntutan warga Timampu dan malah mengklaim jika kewajiban perusahaan telah diselesaikan sejak tahun 1982 (30 tahun yang lalu) terkesan memperkeruh situasi dan mencoba memperhadap- hadapkan warga dengan aparat sama halnya mencoba mengadu domba warga dengan aparat keamanan (Polri).

Ilustrasi penangkapan warga oleh aparat kepolisian (int)
Mengutuk Tindakan Represif Aparat:

Tindakan pembubaran paksa aksi warga Timampu yang disertai dengan pemukulan dan penangkapan sejumlah warga yang dilakukan oleh aparat Polres Luwu Timur dan pasukan Brimob Baebunta, pada Jumat 22 Maret 2013 pekan kemarin adalah buntut dari berlarut- larutnya penyelesaian pembayaran kompensasi terhadap warga Timampu, insiden ini juga ditengarai sikap aparat yang memihak pada perusahaan.

Aparat dalam melakukan pengamanan aksi mestinya netral atau tidak memihak pada pengusaha, dan harus lebih mengedepankan pendekatan presuasif terhadap warga yang menggelar aksi unjukrasa, bukan mala melakukan tindakan represif. Akibat tindakan represif tersebut sejumlah warga yang aksi dan aktivis SRMD Lutim menderita luka- luka dan memar disekujur tubuhnya karena dihantam dengan popor senjata dan diinjak- injak serta didupukuli aparat, bahkan ada yang sampai pincang karena diseret oleh aparat.

Naifnya karena dalam insiden tersebut Kapolres Luwu Timur AKBP. Rio Indra Lesmana, yang mengintruksikan langsung pembubaran dan penangkapan warga. AKBP. Rio Indra Lesmana, mestinya tidak melakukan hal tersebut, apa lagi membiarkan anggotanya dan Passukan Brimob Baebunta, melakukan pemukulan saat melakukan pembubaran dan penangkapan warga yang aksi, lagian pada saat itu warga tidak melakukan perlawanan.

Kami mengutuk tindakan brutal aparat dan penangkapan terhadap para pengunjukrasa, olehnya itu kami meminta agar aparat menghentikan segala bentuk tindakan represif yang dilakukan terhadap warga yang menuntut hak- haknya, mendesak manajemen PT. Vale untuk segera merealisasikan pembayaran kompensasi terhadap warga Timampu, kami juga mendesak agar Kapolres Luwu Timur AKBP. Rio Indra Lesmana untuk segera dicopot dari jabatannya atas pelanggaran HAM yang dilakukan pada saat pembubaran paksa dan penangkapan warga yang aksi pada Jumat, 22 Maret 2012 lalu.

Daftar Pustaka:



















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) tidak bertanggung jawab atas komentar yang anda tulis pada halaman komentar, admin situs ini juga akan menghapus komentar yang tidak objektif dan atau postingan yang berbau SARA.