Oleh:
William Marthom
“Ketua
Umum Dewan Pengurus Pusat Serikat Rakyat Miskin Demokratik (DPP SRMD)”
Dimana- mana kehadiran sebuah
perusahaan pertambangan akan menjadi sebuah masalah dan ancaman bagi
masyarakat. Konkritnya bahwa kehadiran sebuah perusahaan tambang akan menjadi
sebuah permasalahan baru bagi masyarakat di sekitar lingkungan perusahaan itu
beroperasi. Kehadiran perusahaan tambang tersebut secara umum akan memunculkan
masalah baru yakni pengambil alihan
lahan garapan serta tempat pemukiman masyarakat, penghapusan atau perampasan
hak- hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka yang telah dimiliki secara
turun temurun, rusaknya lingkungan dan ekosistem, serta pencemaran lingkungan
akibat limbah perusahaan.
Semua permasalahan yang terjadi
atau dihadapi oleh masyarakat disekitar wilayah tambang sulit terhindarkan.
Misalnya kehilangan lahan garapan pertanian warga, yang biasanya dikelolah
sebagai sumber penghidupan, begitu mudahnya diambil alih oleh perusahaan walau
terkadang tanpa ganti rugi, “seperti kasus pengalifungsian sawah dan ladang
milik warga di Dusun Balambano, Desa Balambano, Kecamatan Wasuponda, Kabupaten
Luwu Timur (Lutim), Sulawesi Selatan (Sulsel)”, yang dialih fungsikan menjadi
jalan raya dan lokasi pembangunan Dam (bendungan) Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA) Larona II milik PT. Vale Indonesia Tbk.
Demikian juga dengan pengambil
alihan tanah adat Suku PASITABE (Padoe, Karunsi’e dan Tambe’e) yang terpaksa
direlokasi ke Kampung Dongi, Desa Leduledu, Kec. Wasuponda, Lutim. Hal itu
tentunya berakibat selain kehilangan mata pencaharian dan identitas adat
masyarakat sekitar juga menjadi permasalahan tersendiri dari keberadaan
perusahaan tambang. Akibat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan
perusahaan tambang maka penduduk sekitar perusahaan tersebut kehilangan lahan
pertaniannya. Masyarakat adat juga kehilangan tanah adat, yang merupakan
warisan leluhur mereka, ketika perusahaan tambang mulai beroperasi.
Gunung yang gundul akibat ditambang, rentan mengakibatkan
bahaya banjir dan longsor (int)
|
Kontrak
Karya Perusahaan Tambang Menjadi Dalil Perampasan Hak- Hak Masyarakat:
Atas dasar hak perusahaan atau
korporasi yang telah memiliki berbagai macam perizinan, sehingga dengan
bermodalkan izin tersebut dan atau kontrak karya, hak- hak masyarakat setempat
dicaplok, serta dirampas karena semua lahan milik masyarakat masuk dalam
wilayah konsesi perusahaan berdasarkan kontrak karya perusahaan tambang
tersebut. Seperti keberadaan perusahaan nikel raksasa yang hingga saat ini,
telah 35 tahun lebih beroperasi di Kabupaten Luwu Timur (Lutim), Provinsi
Sulawesi Selatan (Sulsel), khususnya di empat kecamatan yang ada di Kabupaten
Lutim yakni Kec. Malili, Wasuponda, Towuti dan Nuha.
Asal
Usul Masuknya Perusahaan Tambang Nikel
di Luwu Timur:
Data yang dikutip dari situs resmi
PT. INCO Tbk menyebutkan bahwa PT INCO Tbk didirikan berdasarkan UU No. 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing, dan berdiri sejak 25 Juli 1968. Pada 27
Juli 1969 dilakukan penandatanganan kontrak karya untuk jangka waktu 30 tahun
sejak dimulainya produksi komersial per 1 April 1978 hingga 31 Maret 2008. Pada
15 Januari 1996 dilakukan modifikasi dan atau perpanjangan kontrak karya untuk
30 tahun kedua untuk menjamin penguasaan lingkungan bisnis yang stabil hingga
tahun 2025. Dan pada tanggal 1 Oktober 2011 saham PT. INCO dialihkan atau
dijual kepada PT. Vale Indonesia, Tbk yang semenjak itu pula seluruh wilayah
konsesi PT. INCO yang ada dalam kontrak karya sepenuhnya beralih ke PT. Vale
Indonesia Tbk, demikian pula dengan segala kewajiban- kewajiban PT. INCO
tentunya beralih pula ke PT. Vale.
Sebagai gambaran, PT Vale baru
mengeksploitasi 4.500 hektar dari sekitar 190.000 hektar area konsesi. Saat ini
lebih dari 3.500 hektar areal yang telah dibuka, sudah ditutup kembali. Tersisa
bukaan sekitar 1.000 hektar yang meliputi area tambang hingga perkantoran dan
perumahan. Saham PT. Vale sebagian besar dikuasai oleh pemodal Brazil sebesar
50% lebih, dan sebanyak 20% dikuasai oleh pemodal asal Jepang, yang selebihnya
sekitar 20% dikuasai oleh publik.
Keuntungan
Perusahaan Tambang Nikel di Luwu Timur:
Keuntungan
yang diterima oleh PT INCO selama beroperasi pun tidak tanggung-tanggung. Tahun
1989 saja, keuntungan bersih PT INCO sebesar US$ 182 juta. Total keuntungan PT
INCO dari 1988 hingga 1998, di luar tahun 1990, 1991, 1992 dan 1993, mencapai
US$ 588 juta. Sementara pendapatan pemerintah antara tahun 1988-1998, hanya US$
25,7 juta dalam bentuk royalti, pajak perusahaan, sewa tanah dan sewa air. Pada
Kontrak Karya I, royalti yang diterima pemerintah Indonesia dari PT INCO hanya
sebesar 0,015% dari harga setiap kilogram nikel. Sewa lahan tambang setiap
tahunnya hanya sebesar US$ 1 per hektar per tahun. Dalam Kontrak Karya II, sewa
lahan tambang dinaikkan menjadi US$ 1,5 per hektar per tahun, namun royalti
sama sekali tidak berubah.
Sementara
di kuartal pertama tahun 2011 saja, PT INCO meraih laba bersih sebesar Rp
962,34 miliar atau US$ 111,9 juta. Angka ini naik 47 % jika dibandingkan labah
bersih periode yang sama pada tahun 2010 yang mencapai Rp 655,32 miliar atau
US$ 76,2 juta. Keseluruhan laba bersih PT INCO Tbk di tahun 2010 mencapai US$
437,4 juta. Laba bersih pada tahun 2010 ini meningkat sebesar 156,7 % dari laba
bersih di tahun 2009 yang mencapai US$ 170,4 juta.
Kamis,
26 Januari 2012 diberitakaan di COMPAS. COM, bahwa saham PT Vale Indonesia (Eks PT. INCO Tbk)
mencatatkan kenaikan pada transaksi pagi itu, tepat pada pukul 10.41, saham PT.
Vale melaju 2,08 persen menjadi Rp 3.675. Berdasarkan data Bloomberg, dua
broker teraktif yang mengempit saham ini adalah: Deutsche Securities senilai Rp
8,54 miliar, JPMorgan Securities senilai Rp 917,5 juta.
Disinyalir, pergerakan saham PT. Vale bergerak mengikuti harga kontrak nikel
dunia yang melaju 1,5 persen menjadi 20,925 dollar AS metrik ton di London,
tertanggal, 25 January 2012. Ini merupakan level tertinggi sejak 20 September 2011 lalu. Pasca penutupan transaksi
perdagangan elektronik, harga nikel berada di posisi 21.000 dollar AS.
Coba bayangkan berapa kali lipat
keuntungan perusahaan setelah PT. Vale yang mengambil alih PT. INCO dan
mengoperasikan perusahaan tambang nikel tersebut di Lutim, saat PT. Vale
melakukan pengembangan bisnis yang meliputi peningkatan kapasitas smelter
hingga produksi dari selama ini 70.000 ton nikel (pada saat masih PT. INCO yang
mengoperasikan tambang) menjadi 120.000 ton setelah PT. Vale, seperti yang
pernah dibeberkan oleh Presiden Direktur/CEO PT. Vale, Nicolaas D Kanter yang
akrab disapa Nico Kanter,yang dilansir media pada awal februari 2013 sebulan
lalu.
Mempertanyakan Manfaat Yang
Diberikan Perusahaan Tambang Nicel di Luwu Timur:
Lalu
apa artinya keuntungan perusahaan tambang nikel yang berlipat-lipat tersebut
terhadap masyarakat sekitar perusahaan? Kenyataannya masih ada sekitar 23.737
jiwa atau 9,18% penduduk miskin yang berada di wilayah Lutim. Apalagi jika
mengingat kerusakan yang ditimbulkan PT. Vale Indonesia Tbk terhadap lingkungan
sekitarnya.
Seperti
kasus yang menimpa 192 kepala keluarga (KK) warga Desa Timampu, Kec. Towuti,
Kab. Lutim, Sulsel, yang tenggelam lahan pertaniannya sekitar 144 hektar akibat
pembangunan Dam Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Larona I milik PT. Vale
Indonesia Tbk.
Ratusan warga Timampu menggelar aksi unjukrasa
menuntut perusahaan untuk mengganti rugi lahan
warga yang tenggelam akibat pembangun Dam PLTA
milik perusahaan (Dok. Aksi SRMD)
|
Dalam
dua bulan terakhir (February & Maret) di tahun 2013 PT. Vale, setidaknya beberapa
kali di demo oleh Warga Desa Timapu, Kec. Towuti, Kab. Lutim, terkait dengan
pembayaran kompensasi ratusan hektar lahan warga Timampu yang tenggelam akibat
pembangunan Dam PLTA Larona I milik PT. Vale.
Seperti
yang terjadi pada tanggal, 11- 15 February 2013 lalu sekitar 500an warga
menggelar aksi unjukrasa menuntut pembayaran kompensasi lahan warga yang
tenggelam. Aksi warga diwarnai dengan swiping kendaraan milik PT. Vale dan
karyawan PT. Vale yang berakibat ratusan karyawan PT. Vale tidak bisa masuk
bekerja karena dirasia/dijegat oleh para pengunjukrasa. Aksi yang sama juga
kembali terjadi pada tanggal, 20- 23 Maret 2013, walau aksi warga sempat
direpresif, dibubarkan paksa dan sejumlah warga ditangkapi pada Jumat, 22 Maret
2013 warga tak gentar dan tetap turun aksi pada Sabtu, 23 Maret 2013.
Peristiwa
tenggelamnya ratusan hektar lahan warga Timampu, yang terjadi sejak tahun 1975
semenjak Dam PLTA Larona I dibangun oleh perusaan, namun hingga kini
permasalahan tersebut tak kunjung selesai. Kendati demikian pihak perusahaan
lewat Presiden Direktur/ CEO PT. Vale Indonesia Tbk Nico Kanter, mengatakan
bahwa ganti rugi lahan warga Timampu yang tenggelam akibat pembangunan Dam PLTA
Larona I, sudah diselesaikan perusahaan sejak tahun 1982 (30 tahun yang lalu)
dalam bentuk penyediaan sarana listrik, semen 200 zak dan 2 unit traktor.
Dalam siaran persnya pada Jumat, 22 Maret 2013 Nico Kanter,
mengatakan bahwa PT INCO Tbk (waktu itu) bekerjasama dengan Pemda Luwu (waktu
itu sebelum pemekaran kabupaten/Kab. Lutim belum mekar) telah memberikan
kompensasi kepada masyarakat Desa Timampu, dalam bentuk penyediaan sarana
listrik, dua buah traktor dan 200 zak semen sesuai dengan harapan masyarakat
ketika itu.
Menurut Nico Kanter, terkait dengan peristiwa tahun
1997/1998 dimana sejumlah tanaman yang ditanam kembali oleh masyarakat Timampu
di lahan yang sama akibat musim kemarau dan kemudian tergenang lagi ketika
ketinggian air danau kembali naik seperti biasanya, juga telah diselesaikan
oleh PT INCO Tbk (bekerjasama dengan Pemda Luwu) dengan memberikan bantuan
kemanusiaan untuk empat Desa pesisir Danau Towuti, termasuk Desa Timampu.
PT.Vale , juga menyatakan dalam pertemuan 25 Februari 2013
lalu PT. Vale, telah menyatakan siap untuk segera menyelesaikan komitmen yang
tercantum di dalam Surat Perjanjian Persetujuan yang ditandatangani oleh Pemda,
PT INCO Tbk dan perwakilan masyarakat tertangg, l 5 Agustus 2000, dalam hal ini
disebutkan bahwa Pemda Luwu Utara (kala itu baru Luwu Utara yang dimekarkan
dari Kab. Luwu/ Kab. Lutim belum mekar kala itu) dan PT INCO Tbk akan
mengupayakan lahan perkebunan untuk masyarakat Timampu, yang mana luas dan
pelaksanaannya akan dikondisikan dengan situasi lahan yang akan diberikan dan
dengan mengikuti aturan pemerintah. Dan untuk memenuhi isi Surat Perjanjian
Persetujuan tersebut, PT Vale Indonesia Tbk telah menyatakan komitmennya untuk
memberikan bantuan, “bukan ganti rugi lahan” sebagai upaya penggantian
penyediaan lahan perkebunan tersebut sebesar Rp 32,5 juta per hektar.
Terkait luas lahan yang dimaksud akan diverifikasi lebih
lanjut di lapangan oleh tim gabungan yang terdiri dari wakil masyarakat, PT
Vale dan Pemda serta instansi terkait. Proses negosiasi penyelesaian tuntutan
ini telah dilakukan sejak bulan Oktober 2012 baik dilakukan secara informal
maupun melalui pertemuan yang dimediasi oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Luwu
Timur, DPRD Luwu Timur, maupun Polres/Polsek setempat. Awalnya, Tim Panitia
Penyelesaian menuntut ganti rugi sebesar Rp 160.965.081.200 kepada PT Vale
Indonesia Tbk atas tergenangnya lahan masyarakat Timampu tersebut.
Aksi warga Timampu yang mendesak perusahaan untuk
segera membayar ganti rugi lahan pertanian warga yang
tenggelam akibat pembangun Dam PLTA milik perusahaan
(Dok. Aksi SRMD) |
Angka Rp. 160, 9 milliar menurut perhitungan warga yang
dituntut ke PT. Vale, adalah hal yang wajar. Sebab jika mengacu ke Perjanjian
Persetujuan yang ditanda tangani oleh perusahaan, Pemda dan perwakilan
masyarakat dinyatakan bahwa perusahaan akan memberikan lahan perkebunan kepada
masyarakat Timampu yang merupakan korban pembangunan Dam PLTA Larona I, jika
dalam pembagian lahan untuk warga korban genangan air Dam PLTA Larona I dirata-
ratakan setiap KK mendapat 1 hektar lahan untuk 192 KK warga yang lahannya
tergenang dengan mengacu ke perhitungan, “ Badan Penyuluh Pertanian dan
Perikanan Kab. Lutim”, yang menyatakan bahwa untuk 1 hektar kebun merica, maka
dibutuhkan biaya sekitar Rp. 215 juta per hektarnya.
Sementara warga meminta kompensasi atau ganti rugi terhadap
lahan mereka adalah Rp. 250 juta perhektar, sedangkan pihak perusahaan hanya
menawarkan dana bantuan menurut mereka sebesar Rp. 32,5 juta per hektar dinilai
warga sebagai sebuah penghinaan atau pelecehan. Apa iya ada warga di Timampu
yang tanahnya mau dinilai seharga Rp. 32, 5 juta perhektar?
Demikian juga dengan penyesaian ganti rugi lahan warga pada
tahun 1982 (30 tahun lalu) apa ada orang yang tanahnya ditenggelamkan seluas
144 hektar oleh perusahaan dan mau, hanya diganti rugi dengan fasilitas
listrik, 200 zak semen dan 2 unit traktor? Pertanyaannya kemudian adalah jika
192 KK pemilik lahan mendapat fasilitas listrik pada tahun 1982 di Timampu itu
artinya bahwa sejak 30 tahun yang lalu sedikitnya ada 192 KK warga Timampu
telah menikmati yang namanya penerangan listrik, namun faktanya tidak demikian,
yang artinya Nico Kater, berbohong dalam hal ini.
Kemudian jika pada tahun 1982, para pemilik lahan tenggelam
di Timampu akibat Dam PLTA Larona I milik perusahaan, sebanyak 192 KK kala itu
mau menerima 200 zak semen sebagai ganti rugi lahan mereka yang ditenggelamkan
perusahaan itu artinya bahwa setiap KK hanya mendapat 1,01 zak semen (hanya
mendapat 1 zak lebih/KK). Jika faktanya demikian, akan muncul pertanyaan bahwa
1,01 zak semen oleh setiap warga pada saat itu hendak digunakan untuk apa oleh
warga?
Juga 2 unit traktor untuk 192 KK yang dimiliki secara
kolektiv (milik bersama para korban Dam PLTA Laron I) kala itu hendak
dipergunakan untuk apa sementara lahan pertanian mereka sudah ludes tergenang
air danau akibat pembangunan Dam PLTA Larona I milik perusahaan tambang nikel
raksasa itu.
Selain itu, jika benar perusahaan telah mengganti rugi
lahan warga sejak tahun 1982, lantas kenapa pada tanggal, 15 Agustus 2000 pihak
perusahaan, Pemda dan perwakilan warga, mau membuat dan menandatangani Surat Perjanjian Persetujuan, yang dalam
hal ini disebutkan bahwa Pemda Luwu Utara (kala itu baru Luwu Utara yang
dimekarkan dari Kab. Luwu/ Kab. Lutim belum mekar kala itu) dan PT INCO Tbk
akan mengupayakan lahan perkebunan untuk masyarakat Timampu yang lahannya
tenggelam akibat pembangunan Dam PLTA Larona I.
PT. Vale
Jangan Mengadu- Domba Warga Dengan Aparat:
Sikap manajemen PT. Vale yang kurang respon terhadap
tuntutan warga Timampu dan malah mengklaim jika kewajiban perusahaan telah
diselesaikan sejak tahun 1982 (30 tahun yang lalu) terkesan memperkeruh situasi
dan mencoba memperhadap- hadapkan warga dengan aparat sama halnya mencoba
mengadu domba warga dengan aparat keamanan (Polri).
Tindakan pembubaran paksa aksi warga Timampu yang disertai
dengan pemukulan dan penangkapan sejumlah warga yang dilakukan oleh aparat
Polres Luwu Timur dan pasukan Brimob Baebunta, pada Jumat 22 Maret 2013 pekan
kemarin adalah buntut dari berlarut- larutnya penyelesaian pembayaran
kompensasi terhadap warga Timampu, insiden ini juga ditengarai sikap aparat
yang memihak pada perusahaan.
Aparat dalam melakukan pengamanan aksi mestinya netral atau
tidak memihak pada pengusaha, dan harus lebih mengedepankan pendekatan
presuasif terhadap warga yang menggelar aksi unjukrasa, bukan mala melakukan
tindakan represif. Akibat tindakan represif tersebut sejumlah warga yang aksi
dan aktivis SRMD Lutim menderita luka- luka dan memar disekujur tubuhnya karena
dihantam dengan popor senjata dan diinjak- injak serta didupukuli aparat,
bahkan ada yang sampai pincang karena diseret oleh aparat.
Naifnya karena dalam insiden tersebut Kapolres Luwu Timur
AKBP. Rio Indra Lesmana, yang mengintruksikan langsung pembubaran dan
penangkapan warga. AKBP. Rio Indra Lesmana, mestinya tidak melakukan hal
tersebut, apa lagi membiarkan anggotanya dan Passukan Brimob Baebunta,
melakukan pemukulan saat melakukan pembubaran dan penangkapan warga yang aksi,
lagian pada saat itu warga tidak melakukan perlawanan.
Kami mengutuk tindakan brutal aparat dan penangkapan
terhadap para pengunjukrasa, olehnya itu kami meminta agar aparat menghentikan
segala bentuk tindakan represif yang dilakukan terhadap warga yang menuntut hak-
haknya, mendesak manajemen PT. Vale untuk segera merealisasikan pembayaran
kompensasi terhadap warga Timampu, kami juga mendesak agar Kapolres Luwu Timur
AKBP. Rio Indra Lesmana untuk segera dicopot dari jabatannya atas pelanggaran
HAM yang dilakukan pada saat pembubaran paksa dan penangkapan warga yang aksi
pada Jumat, 22 Maret 2012 lalu.
Daftar
Pustaka:
http://www.perspektifnews.com/1063/aksi-warga-timampu-ke-pt-vale-dibubarkan-paksa-aparat-kepolisian/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) tidak bertanggung jawab atas komentar yang anda tulis pada halaman komentar, admin situs ini juga akan menghapus komentar yang tidak objektif dan atau postingan yang berbau SARA.