Kamis, 18 Mei 2017

Siapa Pemilik Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu ?

William Marthom
Pengosongan Lahan Eks Kebun Karet untuk Lokasi Pembangunan Kampus UNANDA Menuai Pro dan Kontra ;

Penulis : William Marthom

PENGOSONGAN lahan bekas Hak Erfpacht atau Tanah Asal Konversi Hak Barat yang dulunya dikelola sebagai ‘Kebun Karet’ oleh perusahaan perkebunan Pemerintah Jerman, untuk perintisan jalan baru menuju lokasi pembangunan kampus baru Universitas Andi Djemma (UNANDA) di Dusun Lemo Tua, Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel), pada Kamis, 4 Mei 2017 menuai pro dan kontra yang cukup beragam dari berbagai kalangan.

Pihak pro dan kontra masing-masing memiliki alasan, serta argumentasi yang beragam, ada yang rasional dan juga irasional. Secara umum argumentasi mereka tidak beranjak dari sebuah pijakan esensial secara fundamental. Mereka tidak melakukan kajian dan analisis secara mendalam soal asal-usul tanah itu, juga tidak mengkaji dan menganalisis secara matang pijakan regulasi atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengikat objek tersebut.

Para pendukung Pemerintah Daerah (Pemda) Luwu dan UNANDA, menyatakan bahwa pegosongan lahan diatas objek Eks (bekas) Kebun Karet di Desa Bara’mamase, yang berdalil dengan penertiban aset milik pemerintah adalah hal wajar dan sudah sesuai prosedur, serta ketentuan yang berlaku. Karena menurut mereka, pemilik sah lahan tersebut adalah Pemda Luwu dan lahan itu telah dihibahkan oleh Pemda Luwu kepada Yayasan To Ciung Luwu untuk pembangunan kampus baru UNANDA.

Sementara, bagi pihak yang kontra penggusuran tersebut, menyatakan bahwa mereka menolak penggusuran itu karena kurang manusiawi. Sebab padi milik petani yang menggarap lahan tersebut sudah mekar buahnya dan sebagian mulai menguning, tinggal menunggu beberapa pekan, padinya sudah dapat dipanen. Seharusnya Pemda Luwu dan UNANDA membiarkan para petani penggarap untuk memanen padi milik mereka barulah dilakukan penggusuran lahan itu.

Ada pula pernyataan orang-orang yang kontra dengan alasan bahwa Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase adalah tanah Negara yang telah dikuasai dan dikelolah oleh warga selama berpuluh-puluh tahun, bahkan sudah lebih dari empat dekade (40 tahun) lamanya. Sehingga orang yang paling berhak atas lahan tersebut adalah warga, bukan Pemda Luwu, apa lagi UNANDA.

Kekeliruan demikian semakin akut ketika para pihak terkait, tidak mau tahu atau pura-pura buta dan tuli, serta membisu untuk berkata jujur bahwa siapakah sebenarnya yang paling berhak atas tanah Eks Kebun Karet tersebut ?

Semua pihak terkait seolah-olah pada sibuk mencari pembenaran bahwa merekalah yang paling berhak atas lahan itu, tanpa berupaya mengintropeksi kedudukan dan posisi masing-masing, “apakah mereka berada pada pihak yang benar atau salah” termasuk merefleksikan sikap dan tindakan mereka dengan mempertimbangkan dampak baik dan buruk dari ketegangan demikian.

Kendati pada prinsipnya penulis, sepakat dan sangat setuju dan mendukung dengan adanya pembangunan kampus baru UNANDA yang didengung-dengungkan bakal bertransformasi menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Tana Luwu. Karena keberadaan Kampus UNANDA di lokasi itu, dari tinjauan aspek ekonomi, secara ekonomis akan sangat berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan perkapita warga di sekitarnya. Sebab warga sekitar dapat membuka berbagai macam usaha baru seperti, usaha foto copy, warung makan, rumah-rumah kontrakan (inde kost), toko-toko ATK, kios-kios Sembako dan lain sebagainya.

Tinjauan dari aspek sosial juga sangat menguntungkan, karena keberadaan Kampus Perguruan Tinggi pada suatu daerah secara umum mampu mengakselerasi kemajuan kesadaran sosial masyarakat sekitarnya. Hal demikian sejalan dengan pandangan, Lenin seorang filsup terkemuka asal Eropa yang menyatakan bahwa “kesadaran sosial masyarakat sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan sekitarnya”.

Yang pasti penulis sangat mendukung pembangunan kampus baru UNANDA demi kemajuan dunia pendidikan di Tana Luwu dan peradaban masyarakat Luwu Raya (Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur dan Kota Palopo).

Akan tetapi, keinginan demikian bukan berarti harus mengabaikan fakta-fakta dan peraturan perundang-undangan, serta ketentuan yang berlaku di republik ini. Tidak pula harus melegalkan “penggusuran” para petani secara represhif, dan mengabaikan hak-hak mereka atas lahan Eks Kebun Karet tersebut. Apa lagi dengan menghalalkan segala macam cara untuk memuluskan pembangunan kampus baru UNANDA di atas lahan pertanian warga Desa Bara’mamase dengan dalil tanah tersebut telah dihibahkan oleh Pemda Luwu kepada Yayasan To Ciung Luwu untuk pembangunan kampus baru UNANDA.

Dalam hiruk-pikuk problematika ini, penulis yang merupakan salah warga Tana Luwu mencoba untuk menelusuri “sejarah dan jejak-jejak penguasaan, serta pemanfaatan lahan eks kebun karet tersebut”, dengan berupaya menganalisis data, informasi, regulasi dan serpihan-serpihan fakta ikhwal dari akar persoalan ini.

Meski penulis tahu persis bahwa dirinya bukanlah seorang sejarawan atau ahli hukum, namun upaya untuk meretas ruang dan jurang pemisah berbagai pendapat atau pandangan sesama Wija To Luwu antara pihak yang pro dan kontra dalam pengosongan lahan pembangunan kampus baru UNANDA di lokasi Eks Kebun Karet yang berada di Dusun Lemo Tua, Desa Bara’mamase, Kabupaten Luwu, Sulsel. Menjadi sebuah alasan untuk menulis artikel ini, karena paling tidak tulisan ini merupakan bahagian dari “amar ma’ruf nahi munkar” yang berarti “memerintahkan/mengajarkan kebaikan dan mencegah kemunkaran/kejahatan”.

*****

Sejarah Penguasan Lahan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase ;

SECARA historis diketahui bahwa,  Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase adalah bekas perkebunan karet (Tanah Asal Koversi Hak Barat) yang dahulu dikelolah dan dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan Karet milik Pemerintah Jerman dengan Hak Erfpacht atas izin Datu Luwu, Andi Kambo atas nama Kerajaan Luwu selaku Kepala Pemerintahan Kedatuan Luwu, sebelum Indonesia merdeka hingga tahun 1978 pasca kolonial (setelah Indonesia merdeka).

Setelah Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan atau menerbitkan Undang-Undang (UU) No. 29 Tahun 1956 tentang Peraturan-Peraturan dan Tindakan-Tindakan Mengenai Tanah-Tanah Perkebunan, pada tanggal 31 Desember 1956 yang pada pokoknya mengatur tentang tanah-tanah perkebunan Hak Erfpacht.

Kebun Karet seluas ± 450 hektar milik bangsa Jerman di Desa Bara’mamase yang semula dengan Hak Erfpacht kemudian dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Meski hak Erfpacht-nya sudah dikonversi menjadi HGU oleh Pemerintah Republik Indonesia pasca terbitnya UU No. 29 Tahun 1956, namun perusahaan perkebunan karet miik Jerman tersebut kemudian engkang meninggalkan kebun karetnya yang berada di Desa Bara’mamase pada awal tahun 1978. Tanpa diketahui secara pasti,  alasan minggatnya perusahaan asing tersebut, apa karena faktor ekonomi atau politik dan atau  karena masa berlaku HGU-nya telah habis dan tidak diperpanjang lagi. 

Pada tahun yang sama (1978) pemerintah membangun bendungan irigasi/pengairan di Sungai Lamasi yang terletak di Kecamatan Walenrang Barat (dahulu Kecamatan Walenrang), Kabupaten Luwu, Sulsel. Pada saat itu, di daerah hulu Sungai Lamasi, tepatnya di Desa Lempepasang, Kecamatan Walenrang, penduduk setempat membuka lahan perkebunan dengan cara merambah kawasan hutan lindung.

Tentu saja, tindakan perambahan hutan atau pengalihfungsian hutan menjadi lahan perkebunan membuat pemerintah khawatir karena bisa berujung pada bencana alam.  Sehingga pada akhir tahun 1978 warga Desa Lempepasang yang berkebun dengan cara merambah hutan di sekitar daerah hulu Sungai Lamasi, akhirnya dipindahkan atau direlokasi ke lahan Eks Kebun Karet (Tanah Asal Konversi Hak Barat) di Desa Bara’mamase oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Luwu, melalui Pemerintah Kecamatan Walenrang.

Ketika Presiden RI kedua, Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak  Baru atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, pada tanggal 8 Agustus 1979. Tentu saja Kepres tersebut menjadi semacam angin segar bagi warga Desa Lempepasang yang telah direlokasi oleh Pemda TK II Luwu di lokasi Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase. Sebab dalam Pasal 1 ayat (1) Kepres No. 32 Tahun 1979, berbunyi “Tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi Barat, jangka waktunya akan berakhir pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara”.

Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, yang berbunyi “Tiap-tiap warga Negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya,” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Kepres No. 32 Tahun 1979 pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

Pasca terbitnya Kepres No. 32 Tahun 1979, warga Desa Lempepasang yang sudah direlokasi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Luwu pada lahan Eks Kebun Karet, semakin yakin dan bersemangat bahwa mereka pada akhirnya akan menetap dan bermukim, serta dapat mengelolah tanah tersebut secara permanen karena kembali akan menjadi tanah Negara mulai tanggal 24 September 1980. Lahirnya Kepres No. 32 Tahun 1979, saat itu ternyata tidak hanya menjadi angin segar bagi warga yang direlokasi dari Desa Lempepasang, akan tetapi juga bagi penduduk asli Desa Bara’mamase dan sekitarnya. Mereka sejak itu atau sekitar tahun 1979 berlomba-lomba masuk menggarap lahan Eks Kebun Karet yang ada di desa mereka.

Tentu alasan lainnya yang mendorong mereka untuk menguasai dan menggarap lahan Eks Kebun Karet itu adalah isi Pasal 4 Kepres No. 32 Tahun 1979 yang berbunyi, “Tanah-Tanah Hak Guna Usaha asal konversi hak Barat yang sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya”.

Selain itu, Peraturan Mentri Dalam Negeri (Permendagri) No. 3 Tahun 1978 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. Sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (2) Permendagri tersebut menyebutkan bahwa “Pemberian Hak Guna Usaha yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, tidak meliputi bagian areal tanah yang diduduki atau digarap oleh pihak lain dan terkena ketentuan Pasal 5 UU No. 51/Prp/1960, serta yang diperlukan untuk pembangunan proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan umum”. Ketentuan-ketuan inilah yang membuat warga dari Desa Lempepasang dan Desa Bara’mamase semakin mengukuhkan harapan mereka untuk memiliki dan menggarap lahan Eks Kebun Karet itu secara permanen.

Keyakinan warga penggarap lahan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase saat itu, semakin mengkristal dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Karena dalam Pasal 24 ayat (2) PP tersebut ditegaskan bahwa, “Pembukuan Hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya”.

Harapan para petani penggarap lahan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Setelah Datu Luwu, Andi Achmad Opu To Taddi’ Luwu, selaku Dewan Pemangku Adat Luwu melayangkan Surat Nomor: 01/DEPAL/VI/1996, Perihal Penjelasan Satus Tanah Adat atau Tanah Datu, tertanggal 7 Juni 1996 yang ditujukan kepada Bupati Daerah Tingkat II Luwu. Karena dalam surat itu, Datu Luwu, Andi Achmad Opu To Taddi’ Luwu secara tegas menyatakan bahwa lahan Eks Kebun Karet tersebut adalah tanah Negara. Surat tersebut dilayangkan oleh Andi Achmad Opu To Taddi’ Luwu karena pada saat itu ada beberapa oknum yang berupaya untuk menguasai lahan Eks Kebun Karet dan memperjual-belikannya dengan mengatasnamakan dirinya sebagai rumpun Kedatuan Luwu atau selaku ahli waris Datu Luwu.

Menyusul, terbit Surat Edaran Bupati Luwu No. 590/80/Tata.Pem, tertanggal 26 Maret 1999 yang ditandatangani oleh Bupati Luwu atas nama Drs. Kamrul Kasim, SH, MH. Surat edaran tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa, ”Masyarakat yang secara yuridis atau secara factual telah menggarap tanah Eks Kebun Karet tersebut agar mendaftarkan tanah garapannya dan tidak menyerahkan tanah tersebut kepada orang lain”. Sayangnya usaha warga yang menggarap lahan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase untuk mendaftarkan tanah garapannya selalu mendapat hambatan dari berbagai pihak, sehingga sampai saat ini mereka yang sudah puluhan tahun menguasai dan menggarap lahan Eks Kebun Karet tersebut belum memiliki bukti kepemilikan berupa Sertifikat Hak Milik (SHM).

*****

Pemda Luwu Menghibahkan Lahan Eks Kebun Karet Kepada Yayasan To Ciung Luwu untuk Lokasi Pembangunan Kampus UNANDA ;

KONFLIK antara petani dengan UNANDA bermula ketika Bupati Luwu, Ir. Andi Mudzakkar pada tanggal 13 Juli 2011 mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Luwu Nomor: 335/VII/2011 tentang Penunjukan Lokasi Tanah untuk Pembangunan Kampus Universitas Andi Djemma (UNANDA) seluas 30 hektar. Tanah yang dimaksud dalam Surat Keputusan Bupati Luwu tersebut adalah lahan Eks Kebun Karet di Dusun Lemo Tua, Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel.

Atas dasar surat tersebut Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Luwu pada bulan Agustus 2011 melakukan pengukuran objek tanah yang di maksud, sebagaimana Surat Ukur Tanah BPN Wilayah Sulsel No.00002/2011, tertanggal 26 Agustus 2011 dengan Nomor Identifikasi Bidang 20.08.126.07.00220. Namun pasca pengukuran oleh BPN Luwu, objek tanah yang di maksud tidak pernah dikuasai oleh pihak lain, baik oleh Pemda Luwu maupun oleh UNANDA akan tetapi terus dikuasai dan digarap oleh warga Desa Bara’mamase yang sudah menguasai dan menggarap lahan itu sejak tahun 1970-an.

Karena menyadari bahwa pada dasarnya, Pemda Luwu memang tidak berhak atas lahan tersebut, maka Bupati Luwu, Andi Mudzakkar kemudian meminta lahan itu kepada PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV Persero di Makassar agar Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang Kabupaten Luwu, Sulsel, dilepaskan kepada Pemda Luwu dengan tawaran akan ditukar guling (barter) dengan lokasi yang berada di Kecamatan Angkona, Kabupaten Luwu Timur, Sulsel.

Permohonan Bupati Luwu kemudian ditindaklanjuti oleh PTPN XIV dengan meminta persetujuan kepada Menteri BUMN, sehingga Menteri BUMN mengeluarkan Surat Persetujuan No. S-502/MBU/2013 pada tanggal 2 Agustus 2013 Perihal Persetujuan Pelepasan Lahan Eks HGU Perkebunan Karet milik PTPN VIX seluas 30 hektar di Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel, diserahkan kepada Pemda Luwu yang selanjutnya oleh Pemda Luwu diserahkan kepada Yayasan To Ciung Luwu untuk lokasi pembangunan kampus baru UNANDA.

Menteri BUMN dan PTPN XIV keliru dalam penyerahan lahan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase seluas 30 Hektar kepada Pemda Luwu, karena yang menjadi dasar pelepasan tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1958 tentang Penempatan Semua Perusahaan-Perusahaan Perkebunan/Pertanian Milik Belanda Dibawah Penguasaan Pemerintah Indonesia.

Hal tersebut jelas salah dan keliru karena yang menguasai lahan Eks Kebun Karet (Tanah Asal Konversi Hak Barat) sebelumnya adalah perusahaan milik Pemerintah Jerman dengan Hak Erfpacht atas izin Datu Luwu, Andi Kambo atas nama Kerajaan Luwu yang pada waktu itu bertindak selaku Kepala Pemerintahan Kedatuan Luwu (sebelum Kerajaan Luwu menyatakan berintegrasi masuk NKRI).

Pasal 1 PP No.24 Tahun 1958, berbunyi, “Perusahaan-perusahaan perkebunan/pertanian milik Belanda termasuk yang dimiliki Belanda, bersama-sama dengan Pemerintah Republik Indonesia atau warga Negara Indonesia, beserta pabrik-pabriknya, lembaga-lembaga penyelidikan ilmiah di lapangan pertanian, bangunan-bangunannya dan benda-benda tidak bergerak lainnya, benda-benda bergerak dari perusahaan termasuk keuangannya dan surat-surat berharga, serta perkumpulan dan organisasi-organisasi perusahaan perkebunan, dan organisasi-organisasi lainnya yang mempunyai tugas diantara lain mengurus kepentingan bersama daripada anggotanya perusahaan perkebunan/pertanian milik Belanda termaksud di atas, dikuasai seluruhnya oleh Pemerintah Republik Indonesia”.

Jelas sekali, objek yang dimaksud dalam Pasal 1 PP No.24 Tahun 1958 adalah aset milik Belanda, atau aset milik Belanda bersama-sama dengan Pemerintah Indonesia atau aset Belanda bersama-sama dengan Warga Negara Indonesia (WNI), tidak termasuk aset milik Pemerintah Jerman atau bangsa lain.

Artinya, penyerahan lahan Eks Kebun Karet Pemerintah Jerman di Desa Bara’mamase seluas 30 hektar oleh PTPN XIV atas persetujuan Mentri BUMN kepada Pemda Luwu, jelas keliru dan salah, serta melanggar ketentuan yang berlaku sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1958 yang berbunyi, “Penguasaan yang dilakukan dengan menyimpang dari peraturan ini dianggap tidak sah” .

Jika demikian, berarti proses penyerahan Eks Kebun Karet seluas 30 hektar di Desa Bara’mamase  oleh PTPN XIV kepada Pemda Luwu dan oleh Bupati Luwu diserahkan kepada Yayasan To Ciung Luwu untuk lokasi pembangunan kampus baru UNANDA “Tidak Sah” berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) PP No.24 Tahun 1958.

Maka pihak Yayasan To Ciung Luwu atau UNANDA tidak dibenarkan mengolah atau memanfaatkan lahan tersebut. Karena pihak yang paling berwenang dan memiliki hak untuk mengolah lahan itu adalah para petani atau warga yang sudah puluhan tahun menguasai dan menggarap lahan Eks Kebun Karet yang terletak di Dusun Lemo Tua, Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel.

Demikian pula, jika mengacu pada Kepres No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak  Baru atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. Sebab dalam Pasal 1 ayat (1) Kepres No. 32 Tahun 1979, yang berbunyi “Tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi Barat, jangka waktunya akan berakhir pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara”. Karena PTPN XIV (dahulu PTPN XXVIII) tidak pernah mendapat Hak Guna Usaha atau Hak Pakai atas lahan Eks Kebun Karet tersebut.

Jadi tindakan Bupati Luwu, Andi Mudzakkar yang menyerahkan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase seluas 30 Hektar kepada Yayasan To Ciung Luwu untuk lokasi pembangunan kampus baru UNANDA juga bertentangan dengan Permendagri No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. Sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (2) Permendagri tersebut menyebutkan bahwa “Pemberian Hak Guna Usaha yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, tidak meliputi bagian areal tanah yang diduduki atau digarap oleh pihak lain dan terkena ketentuan Pasal 5 UU No. 51/Prp/1960, serta yang diperlukan untuk pembangunan proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan umum”.

Dalam Pasal 24 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ditegaskan bahwa, “Pembukuan Hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya”. Berarti pihak yang paling berhak untuk mendapatkan hak atas objek tersebut adalah para petani atau warga yang sudah puluhan tahun menguasai dan menggarap lahan Eks Kebun Karet itu. Bukan PTPN XIV atau Pemda Luwu, dan atau Yayasan To Ciung Luwu  maupun UNANDA.

Penyerahan lahan Eks Kebun Karet seluas 30 hektar oleh Bupati Luwu kepada Yayasan To Ciung Luwu untuk lokasi pembangunan kampus baru UNANDA di Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel, “jelas sangat keliru dan salah” jika mengacu pada Permendagri No. 3 Tahun 1979 Pasal 7 ayat (2), karena UNANDA adalah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) bukan PTN (Perguruan Tinggi Negeri). Demikian pula jika mengacu pada PP No.24 Tahun 1997 Pasal 24 ayat (2), karena Pemda Luwu tidak pernah menguasai secara fisik lahan tersebut.

Selain itu, pemberian tanah oleh Bupati Luwu kepada Yayasan To Ciung Luwu untuk lokasi pembangunan kampus baru UNANDA di Desa Bara’mamase, juga bertentangan dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI) No. 3 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, maupun Peraturan BPN RI No. 5 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, serta ketentuan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Fasilitas Umum.

Upaya penguasaan lahan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase, Kabupaten Luwu, Sulsel, seluas 30 hektar oleh Pemda Luwu maupun oleh Yayasan To Ciung Luwu atau UNANDA, juga terkesan sangat dipaksakan dan menghalalkan segala macam cara jika mencermati, Laporan Universitas Andi Djemma (UNANDA) dan Bupati Luwu, serta Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Luwu bersama BPN Wilayah Sulsel kepada BPN Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa lahan tersebut adalah tanah kosong. Laporan itu, jelas mengada-ada karena faktanya lahan tersebut merupakan lokasi pemukiman warga, serta telah dikelolah sejak tahun 1970-an sebagai lahan pertanian khususnya padi dan tanaman palawija oleh warga Dusun Lemo Tua, Desa Bara’mamase. Lahan tersebut juga sangat produktif, jika melihat hasil produksi komoditas hasil pertanian para petani yang menggarapnya.

Demikian pula dengan cara atau metode pengosongan (penggusuran) lahan tersebut yang sudah dua kali dilaksanakan oleh pihak Pemda Luwu bersama UNANDA, pada Rabu, 12 April 2017 dan Kamis, 4 Mei 2017 lalu, terkesan sangat berlebihan dan over acting, serta begitu represhif karena tidak mengedepan cara-cara presuasive yang lebih manusiawi. Mengedepankan pengerahan aparat gabungan TNI, Polri dan Satuan Polisi Pamong Praja, saat melakukan pengosongan lahan dengan dalil penertiban aset milik pemerintah adalah hal keliru. Cara-cara demikian, terkesan sangat otoriter dan militeristik ala Orde Baru (Orba) Soeharto, padahal saat ini kita sudah berada dalam fase reformasi, yang sejatinya semua pihak berusaha untuk menjalankan agenda-agenda reformasi demi kesejatraan rakyat Indonesia, termasuk para petani yang menggarap lahan Eks Kebun Karet di Dusun Lemo Tua, Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel.

Perlu diketahui, bahwa dalam dua kali upaya pengosongan lahan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase, yakni pada Rabu, 12 April 2017 dan Kamis, 4 Mei 2017, puluhan warga dan satu orang aktivis mahasiswa ditangkap dan dibawa ke kantor Polisi karena dianggap menghalang-halangi proses penertiban aset pemerintah.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sudah sepantasnya dan sepatutnya warga atau petani “Menolak dan Melawan” Surat Usulan Kepala BPN Wilayah Sulsel, masing-masing dengan Surat Nomor: 1497/100-73/IX/2012 dan Surat Nomor:1499/100-73/IX/2012 tertanggal 19 November 2012, Perihal Usulan Pemberian Hak Pakai atas nama Yayasan To Ciung Luwu, lahan Eks Kebun Karet seluas 30 hektar di Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel, yang ditujukan Kepada Kepala BPN Republik Indonesia karena tidak memiliki dasar hukum dan melanggar hak-hak warga Negara Indonesia yang sudah puluhan tahun menguasai dan menggarap lahan tersebut.

*****

Solusi dan Saran ;

PARA petani penggarap lahan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase juga seharusnya, mengajukan GUGATAN kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Makassar untuk membatalkan Surat Persetujuan Menteri BUMN No. S-502/MBU/2013 tertanggal 2 Agustus 2013, Perihal Persetujuan Pelepasan Lahan Eks HGU Perkebunan Karet milik PTPN VIX dan Surat Keputusan Bupati Luwu Nomor: 335/VII/2011 tentang Penunjukan Lokasi Tanah untuk Pembangunan Kampus Universitas Andi Djemma (UNANDA) seluas 30 hektar di Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel.

Karena paling tidak ada beberapa keuntungan praktis yang dapat dinikmati oleh warga/petani Desa Bara’mamase jika mengajukan gugatannya ke PTUN di Makassar, selama proses hukumnya masih bergulir di pengadilan sampai adanya putusan inkcrah (berkekuatan hukum tetap) antaralain ; (1) pihak lain tidak dapat masuk untuk menguasai atau menggarap lahan (objek sengketa), (2) warga atau petani selaku besitter (orang yang menguasai lahan objek sengketa) tetap berhak untuk menggunakan dan menguasai objek sengketa, sepanjang tidak dipindah-tangankan, (3) secara ekonomis warga/petani yang hidupnya bergantungkan pada lahan objek sengketa, masih dapat menikmati hasil dari lahan objek sengketa yang dimaksud, (4) warga/petani tidak berada dalam ancaman baik secara fisik maupun spikis, dan lain sebagainya.     

Sementara pada konteks penegakan hukum pidana, para petani penggarap lahan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase juga dapat melaporkan pihak Pemkab Luwu dan Yayasan To Ciung Luwu atau UNANDA, kepada aparat penegak hukum (Polri) atas dugaan perampasan tanah dan pengrusakan lahan pertanian, serta padi milik warga yang digusur dengan menggunakan alat berat jenis Excavator pada Kamis, 4 Mei 2017 lalu.

Warga atau petani Desa Bara’mamase, juga dapat melaporkan Bupati Luwu, Andi Mudzakkar atas dugaan penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya, dengan menerbitkan Surat Keputusan Bupati Luwu Nomor: 335/VII/2011 tentang Penunjukan Lokasi Tanah untuk Pembangunan Kampus Universitas Andi Djemma (UNANDA) seluas 30 hektar di Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel. Apa lagi jika Keputusan Bupati Luwu tersebut tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Luwu karena diduga melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Upaya hukum atau proses hukum demikian, sejalan dengan sistem yang dianut oleh bangsa kita, sebagai Negara hukum yang tunduk dan patuh terhadap segala keputusan hukum yang bersifat final (inkcrah). Hal demikian juga untuk menghindari kita dari berbagai subjektifitas cara berpikir atau pandangan, khususnya para pihak yang pro dan kontra soal pembangunan kampus baru UNANDA, termasuk persepsi mengenai siapa yang berhak untuk menguasai dan mengolah lahan Eks Kebun Karet di Dusun Lemo Tua, Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel.

*****

*) Penulis adalah anggota Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) tidak bertanggung jawab atas komentar yang anda tulis pada halaman komentar, admin situs ini juga akan menghapus komentar yang tidak objektif dan atau postingan yang berbau SARA.