William Marthom |
Pengosongan
Lahan Eks Kebun Karet untuk Lokasi Pembangunan Kampus UNANDA Menuai Pro dan
Kontra ;
Penulis : William Marthom
PENGOSONGAN
lahan bekas Hak Erfpacht atau Tanah Asal Konversi Hak Barat yang dulunya
dikelola sebagai ‘Kebun Karet’ oleh perusahaan perkebunan Pemerintah Jerman, untuk
perintisan jalan baru menuju lokasi pembangunan kampus baru Universitas Andi
Djemma (UNANDA) di Dusun Lemo Tua,
Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan
(Sulsel), pada Kamis, 4 Mei 2017 menuai pro dan kontra yang cukup beragam dari
berbagai kalangan.
Pihak pro dan kontra
masing-masing memiliki alasan, serta argumentasi yang beragam, ada yang
rasional dan juga irasional. Secara umum argumentasi mereka tidak beranjak dari
sebuah pijakan esensial secara fundamental. Mereka tidak melakukan kajian dan
analisis secara mendalam soal asal-usul tanah itu, juga tidak mengkaji dan menganalisis
secara matang pijakan regulasi atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengikat objek tersebut.
Para pendukung Pemerintah
Daerah (Pemda) Luwu dan UNANDA, menyatakan bahwa pegosongan lahan diatas objek
Eks (bekas) Kebun Karet di Desa Bara’mamase, yang berdalil dengan penertiban
aset milik pemerintah adalah hal wajar dan sudah sesuai prosedur, serta
ketentuan yang berlaku. Karena menurut mereka, pemilik sah lahan tersebut
adalah Pemda Luwu dan lahan itu telah dihibahkan oleh Pemda Luwu kepada Yayasan
To Ciung Luwu untuk pembangunan kampus baru UNANDA.
Sementara, bagi pihak yang
kontra penggusuran tersebut, menyatakan bahwa mereka menolak penggusuran itu
karena kurang manusiawi. Sebab padi milik petani yang menggarap lahan tersebut
sudah mekar buahnya dan sebagian mulai menguning, tinggal menunggu beberapa
pekan, padinya sudah dapat dipanen. Seharusnya Pemda Luwu dan UNANDA membiarkan
para petani penggarap untuk memanen padi milik mereka barulah dilakukan
penggusuran lahan itu.
Ada pula pernyataan
orang-orang yang kontra dengan alasan bahwa Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase
adalah tanah Negara yang telah dikuasai dan dikelolah oleh warga selama
berpuluh-puluh tahun, bahkan sudah lebih dari empat dekade (40 tahun) lamanya.
Sehingga orang yang paling berhak atas lahan tersebut adalah warga, bukan Pemda
Luwu, apa lagi UNANDA.
Kekeliruan demikian semakin
akut ketika para pihak terkait, tidak mau tahu atau pura-pura buta dan tuli,
serta membisu untuk berkata jujur bahwa siapakah sebenarnya yang paling berhak
atas tanah Eks Kebun Karet tersebut ?
Semua pihak terkait
seolah-olah pada sibuk mencari pembenaran bahwa merekalah yang paling berhak
atas lahan itu, tanpa berupaya mengintropeksi kedudukan dan posisi
masing-masing, “apakah mereka berada pada
pihak yang benar atau salah” termasuk merefleksikan sikap dan tindakan
mereka dengan mempertimbangkan dampak baik dan buruk dari ketegangan demikian.
Kendati pada prinsipnya penulis,
sepakat dan sangat setuju dan mendukung dengan adanya pembangunan kampus baru
UNANDA yang didengung-dengungkan bakal bertransformasi menjadi Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) di Tana Luwu. Karena keberadaan Kampus UNANDA di lokasi itu, dari
tinjauan aspek ekonomi, secara ekonomis akan sangat berkontribusi dalam
meningkatkan pendapatan perkapita warga di sekitarnya. Sebab warga sekitar
dapat membuka berbagai macam usaha baru seperti, usaha foto copy, warung makan,
rumah-rumah kontrakan (inde kost), toko-toko ATK, kios-kios Sembako dan lain
sebagainya.
Tinjauan dari aspek sosial
juga sangat menguntungkan, karena keberadaan Kampus Perguruan Tinggi pada suatu
daerah secara umum mampu mengakselerasi kemajuan kesadaran sosial masyarakat
sekitarnya. Hal demikian sejalan dengan pandangan, Lenin seorang filsup
terkemuka asal Eropa yang menyatakan bahwa “kesadaran
sosial masyarakat sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan sekitarnya”.
Yang pasti penulis sangat
mendukung pembangunan kampus baru UNANDA demi kemajuan dunia pendidikan di Tana
Luwu dan peradaban masyarakat Luwu Raya (Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur
dan Kota Palopo).
Akan tetapi, keinginan
demikian bukan berarti harus mengabaikan fakta-fakta dan peraturan
perundang-undangan, serta ketentuan yang berlaku di republik ini. Tidak pula
harus melegalkan “penggusuran” para petani secara represhif, dan mengabaikan
hak-hak mereka atas lahan Eks Kebun Karet tersebut. Apa lagi dengan
menghalalkan segala macam cara untuk memuluskan pembangunan kampus baru UNANDA
di atas lahan pertanian warga Desa Bara’mamase dengan dalil tanah tersebut
telah dihibahkan oleh Pemda Luwu kepada Yayasan To Ciung Luwu untuk pembangunan
kampus baru UNANDA.
Dalam hiruk-pikuk
problematika ini, penulis yang merupakan salah warga Tana Luwu mencoba untuk
menelusuri “sejarah dan jejak-jejak
penguasaan, serta pemanfaatan lahan eks kebun karet tersebut”, dengan berupaya menganalisis data, informasi, regulasi
dan serpihan-serpihan fakta ikhwal dari akar persoalan ini.
Meski penulis tahu persis
bahwa dirinya bukanlah seorang sejarawan atau ahli hukum, namun upaya untuk
meretas ruang dan jurang pemisah berbagai pendapat atau pandangan sesama Wija
To Luwu antara pihak yang pro dan kontra dalam pengosongan lahan pembangunan
kampus baru UNANDA di lokasi Eks Kebun Karet yang berada di Dusun Lemo Tua,
Desa Bara’mamase, Kabupaten Luwu, Sulsel. Menjadi sebuah alasan untuk menulis
artikel ini, karena paling tidak tulisan ini merupakan bahagian dari “amar ma’ruf nahi munkar” yang berarti “memerintahkan/mengajarkan kebaikan dan
mencegah kemunkaran/kejahatan”.
*****
Sejarah
Penguasan Lahan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase ;
SECARA
historis diketahui bahwa, Eks Kebun
Karet di Desa Bara’mamase adalah bekas perkebunan karet (Tanah Asal Koversi Hak
Barat) yang dahulu dikelolah dan dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan Karet milik
Pemerintah Jerman dengan Hak Erfpacht atas izin Datu Luwu, Andi Kambo atas nama
Kerajaan Luwu selaku Kepala Pemerintahan Kedatuan Luwu, sebelum Indonesia
merdeka hingga tahun 1978 pasca kolonial (setelah Indonesia merdeka).
Setelah Pemerintah Republik
Indonesia mengeluarkan atau menerbitkan Undang-Undang (UU) No. 29 Tahun 1956
tentang Peraturan-Peraturan dan Tindakan-Tindakan Mengenai Tanah-Tanah
Perkebunan, pada tanggal 31 Desember 1956 yang pada pokoknya mengatur tentang
tanah-tanah perkebunan Hak Erfpacht.
Kebun Karet seluas ± 450
hektar milik bangsa Jerman di Desa Bara’mamase yang semula dengan Hak Erfpacht
kemudian dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Meski hak Erfpacht-nya sudah
dikonversi menjadi HGU oleh Pemerintah Republik Indonesia pasca terbitnya UU
No. 29 Tahun 1956, namun perusahaan perkebunan karet miik Jerman tersebut
kemudian engkang meninggalkan kebun karetnya yang berada di Desa Bara’mamase
pada awal tahun 1978. Tanpa diketahui secara pasti, alasan minggatnya perusahaan asing tersebut,
apa karena faktor ekonomi atau politik dan atau karena masa berlaku HGU-nya telah habis dan
tidak diperpanjang lagi.
Pada tahun yang sama (1978)
pemerintah membangun bendungan irigasi/pengairan di Sungai Lamasi yang terletak
di Kecamatan Walenrang Barat (dahulu Kecamatan Walenrang), Kabupaten Luwu,
Sulsel. Pada saat itu, di daerah hulu Sungai Lamasi, tepatnya di Desa
Lempepasang, Kecamatan Walenrang, penduduk setempat membuka lahan perkebunan
dengan cara merambah kawasan hutan lindung.
Tentu saja, tindakan
perambahan hutan atau pengalihfungsian hutan menjadi lahan perkebunan membuat
pemerintah khawatir karena bisa berujung pada bencana alam. Sehingga pada akhir tahun 1978 warga Desa
Lempepasang yang berkebun dengan cara merambah hutan di sekitar daerah hulu
Sungai Lamasi, akhirnya dipindahkan atau direlokasi ke lahan Eks Kebun Karet (Tanah
Asal Konversi Hak Barat) di Desa Bara’mamase oleh Pemerintah Daerah Tingkat II
Luwu, melalui Pemerintah Kecamatan Walenrang.
Ketika Presiden RI kedua,
Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 32 Tahun 1979 tentang
Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, pada
tanggal 8 Agustus 1979. Tentu saja Kepres tersebut menjadi semacam angin segar
bagi warga Desa Lempepasang yang telah direlokasi oleh Pemda TK II Luwu di
lokasi Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase. Sebab dalam Pasal 1 ayat (1) Kepres
No. 32 Tahun 1979, berbunyi “Tanah Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi Barat, jangka
waktunya akan berakhir pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang
bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara”.
Dalam ketentuan Pasal 9 ayat
(2) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, yang berbunyi “Tiap-tiap warga Negara Indonesia baik
laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu
hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri
sendiri maupun keluarganya,” sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) Kepres No. 32 Tahun 1979 pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan
menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Pasca terbitnya Kepres No.
32 Tahun 1979, warga Desa Lempepasang yang sudah direlokasi oleh Pemerintah
Daerah Tingkat II Luwu pada lahan Eks Kebun Karet, semakin yakin dan
bersemangat bahwa mereka pada akhirnya akan menetap dan bermukim, serta dapat mengelolah
tanah tersebut secara permanen karena kembali akan menjadi tanah Negara mulai
tanggal 24 September 1980. Lahirnya Kepres No. 32 Tahun 1979, saat itu ternyata
tidak hanya menjadi angin segar bagi warga yang direlokasi dari Desa
Lempepasang, akan tetapi juga bagi penduduk asli Desa Bara’mamase dan
sekitarnya. Mereka sejak itu atau sekitar tahun 1979 berlomba-lomba masuk
menggarap lahan Eks Kebun Karet yang ada di desa mereka.
Tentu alasan lainnya yang
mendorong mereka untuk menguasai dan menggarap lahan Eks Kebun Karet itu adalah
isi Pasal 4 Kepres No. 32 Tahun 1979 yang berbunyi, “Tanah-Tanah Hak Guna Usaha asal konversi hak Barat yang sudah diduduki
oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan keselamatan lingkungan
hidup lebih tepat diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian,
akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya”.
Selain itu, Peraturan Mentri
Dalam Negeri (Permendagri) No. 3 Tahun 1978 tentang Ketentuan-Ketentuan
Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak
Barat. Sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (2) Permendagri tersebut menyebutkan
bahwa “Pemberian Hak Guna Usaha yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, tidak meliputi bagian areal tanah yang
diduduki atau digarap oleh pihak lain dan terkena ketentuan Pasal 5 UU No.
51/Prp/1960, serta yang diperlukan untuk pembangunan proyek-proyek bagi
penyelenggaraan kepentingan umum”. Ketentuan-ketuan inilah yang membuat
warga dari Desa Lempepasang dan Desa Bara’mamase semakin mengukuhkan harapan
mereka untuk memiliki dan menggarap lahan Eks Kebun Karet itu secara permanen.
Keyakinan warga penggarap
lahan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase saat itu, semakin mengkristal dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah. Karena dalam Pasal 24 ayat (2) PP tersebut ditegaskan bahwa, “Pembukuan Hak dapat dilakukan berdasarkan
kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau
lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan
pendahulu-pendahulunya”.
Harapan para petani
penggarap lahan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase semakin meningkat seiring
berjalannya waktu. Setelah Datu Luwu, Andi Achmad Opu To Taddi’ Luwu, selaku
Dewan Pemangku Adat Luwu melayangkan Surat Nomor: 01/DEPAL/VI/1996, Perihal Penjelasan Satus Tanah Adat atau Tanah
Datu, tertanggal 7 Juni 1996 yang ditujukan kepada Bupati Daerah
Tingkat II Luwu. Karena dalam surat itu, Datu Luwu, Andi Achmad Opu To Taddi’
Luwu secara tegas menyatakan bahwa lahan Eks Kebun Karet tersebut adalah tanah
Negara. Surat tersebut dilayangkan oleh Andi Achmad Opu To Taddi’ Luwu karena pada
saat itu ada beberapa oknum yang berupaya untuk menguasai lahan Eks Kebun Karet
dan memperjual-belikannya dengan mengatasnamakan dirinya sebagai rumpun
Kedatuan Luwu atau selaku ahli waris Datu Luwu.
Menyusul, terbit Surat
Edaran Bupati Luwu No. 590/80/Tata.Pem, tertanggal 26 Maret 1999 yang
ditandatangani oleh Bupati Luwu atas nama Drs. Kamrul Kasim, SH, MH. Surat
edaran tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa, ”Masyarakat yang secara yuridis atau secara factual telah menggarap
tanah Eks Kebun Karet tersebut agar mendaftarkan tanah garapannya dan tidak
menyerahkan tanah tersebut kepada orang lain”. Sayangnya usaha warga yang
menggarap lahan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase untuk mendaftarkan tanah
garapannya selalu mendapat hambatan dari berbagai pihak, sehingga sampai saat
ini mereka yang sudah puluhan tahun menguasai dan menggarap lahan Eks Kebun
Karet tersebut belum memiliki bukti kepemilikan berupa Sertifikat Hak Milik
(SHM).
*****
Pemda
Luwu Menghibahkan Lahan Eks Kebun Karet Kepada Yayasan To Ciung Luwu untuk
Lokasi Pembangunan Kampus UNANDA ;
KONFLIK
antara petani dengan UNANDA bermula ketika Bupati Luwu, Ir. Andi Mudzakkar pada
tanggal 13 Juli 2011 mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Luwu Nomor:
335/VII/2011 tentang Penunjukan Lokasi Tanah untuk Pembangunan Kampus
Universitas Andi Djemma (UNANDA) seluas 30 hektar. Tanah yang dimaksud dalam Surat
Keputusan Bupati Luwu tersebut adalah lahan Eks Kebun Karet di Dusun Lemo Tua,
Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel.
Atas dasar surat tersebut
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Luwu pada bulan Agustus 2011
melakukan pengukuran objek tanah yang di maksud, sebagaimana Surat Ukur Tanah
BPN Wilayah Sulsel No.00002/2011, tertanggal 26 Agustus 2011 dengan Nomor
Identifikasi Bidang 20.08.126.07.00220. Namun pasca pengukuran oleh BPN Luwu,
objek tanah yang di maksud tidak pernah dikuasai oleh pihak lain, baik oleh
Pemda Luwu maupun oleh UNANDA akan tetapi terus dikuasai dan digarap oleh warga
Desa Bara’mamase yang sudah menguasai dan menggarap lahan itu sejak tahun 1970-an.
Karena menyadari bahwa pada
dasarnya, Pemda Luwu memang tidak berhak atas lahan tersebut, maka Bupati Luwu,
Andi Mudzakkar kemudian meminta lahan itu kepada PT. Perkebunan Nusantara
(PTPN) XIV Persero di Makassar agar Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase,
Kecamatan Walenrang Kabupaten Luwu, Sulsel, dilepaskan kepada Pemda Luwu dengan
tawaran akan ditukar guling (barter) dengan lokasi yang berada di Kecamatan
Angkona, Kabupaten Luwu Timur, Sulsel.
Permohonan Bupati Luwu
kemudian ditindaklanjuti oleh PTPN XIV dengan meminta persetujuan kepada Menteri
BUMN, sehingga Menteri BUMN mengeluarkan Surat Persetujuan No. S-502/MBU/2013
pada tanggal 2 Agustus 2013 Perihal Persetujuan Pelepasan Lahan Eks HGU
Perkebunan Karet milik PTPN VIX seluas 30 hektar di Desa Bara’mamase, Kecamatan
Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel, diserahkan kepada Pemda Luwu yang
selanjutnya oleh Pemda Luwu diserahkan kepada Yayasan To Ciung Luwu untuk
lokasi pembangunan kampus baru UNANDA.
Menteri BUMN dan PTPN XIV
keliru dalam penyerahan lahan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase seluas 30
Hektar kepada Pemda Luwu, karena yang menjadi dasar pelepasan tersebut adalah
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1958 tentang Penempatan Semua
Perusahaan-Perusahaan Perkebunan/Pertanian Milik Belanda Dibawah Penguasaan
Pemerintah Indonesia.
Hal tersebut jelas salah dan
keliru karena yang menguasai lahan Eks Kebun Karet (Tanah Asal Konversi Hak
Barat) sebelumnya adalah perusahaan milik Pemerintah
Jerman dengan Hak Erfpacht atas izin Datu Luwu, Andi Kambo atas nama
Kerajaan Luwu yang pada waktu itu bertindak selaku Kepala Pemerintahan Kedatuan
Luwu (sebelum Kerajaan Luwu menyatakan berintegrasi masuk NKRI).
Pasal 1 PP No.24 Tahun 1958, berbunyi, “Perusahaan-perusahaan perkebunan/pertanian
milik Belanda termasuk yang dimiliki Belanda, bersama-sama dengan Pemerintah
Republik Indonesia atau warga Negara Indonesia, beserta pabrik-pabriknya,
lembaga-lembaga penyelidikan ilmiah di lapangan pertanian, bangunan-bangunannya
dan benda-benda tidak bergerak lainnya, benda-benda bergerak dari perusahaan
termasuk keuangannya dan surat-surat berharga, serta perkumpulan dan
organisasi-organisasi perusahaan perkebunan, dan organisasi-organisasi lainnya
yang mempunyai tugas diantara lain mengurus kepentingan bersama daripada
anggotanya perusahaan perkebunan/pertanian milik Belanda termaksud di atas,
dikuasai seluruhnya oleh Pemerintah Republik Indonesia”.
Jelas sekali, objek yang dimaksud dalam Pasal 1 PP No.24
Tahun 1958 adalah aset milik Belanda,
atau aset milik Belanda bersama-sama dengan Pemerintah Indonesia atau aset
Belanda bersama-sama dengan Warga Negara Indonesia (WNI), tidak termasuk aset
milik Pemerintah Jerman atau bangsa lain.
Artinya, penyerahan lahan Eks Kebun
Karet Pemerintah Jerman di Desa Bara’mamase seluas 30 hektar oleh PTPN XIV atas
persetujuan Mentri BUMN kepada Pemda Luwu, jelas keliru dan salah, serta
melanggar ketentuan yang berlaku sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (2)
PP No. 24 Tahun 1958 yang berbunyi, “Penguasaan yang dilakukan dengan menyimpang
dari peraturan ini dianggap tidak sah” .
Jika
demikian, berarti proses penyerahan Eks Kebun Karet seluas 30 hektar di Desa
Bara’mamase oleh PTPN XIV kepada Pemda
Luwu dan oleh Bupati Luwu diserahkan kepada Yayasan To Ciung Luwu untuk lokasi
pembangunan kampus baru UNANDA “Tidak
Sah” berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) PP No.24 Tahun 1958.
Maka
pihak Yayasan To Ciung Luwu atau UNANDA tidak dibenarkan mengolah atau
memanfaatkan lahan tersebut. Karena pihak yang paling berwenang dan memiliki
hak untuk mengolah lahan itu adalah para petani atau warga yang sudah puluhan
tahun menguasai dan menggarap lahan Eks Kebun Karet yang terletak di Dusun Lemo
Tua, Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel.
Demikian
pula, jika mengacu pada Kepres No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok
Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak
Baru atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. Sebab dalam Pasal 1 ayat
(1) Kepres No. 32 Tahun 1979, yang berbunyi “Tanah
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi Barat, jangka
waktunya akan berakhir pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang
bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara”. Karena PTPN
XIV (dahulu PTPN XXVIII) tidak pernah mendapat Hak Guna Usaha atau Hak Pakai
atas lahan Eks Kebun Karet tersebut.
Jadi
tindakan Bupati Luwu, Andi Mudzakkar yang menyerahkan Eks Kebun Karet di Desa
Bara’mamase seluas 30 Hektar kepada Yayasan To Ciung Luwu untuk lokasi
pembangunan kampus baru UNANDA juga bertentangan dengan Permendagri No. 3 Tahun
1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru
atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. Sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (2)
Permendagri tersebut menyebutkan bahwa “Pemberian
Hak Guna Usaha yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, tidak meliputi bagian
areal tanah yang diduduki atau digarap oleh pihak lain dan terkena ketentuan
Pasal 5 UU No. 51/Prp/1960, serta yang diperlukan untuk pembangunan
proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan umum”.
Dalam
Pasal 24 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ditegaskan
bahwa, “Pembukuan Hak dapat dilakukan
berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20
tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan
pendahulu-pendahulunya”. Berarti pihak
yang paling berhak untuk mendapatkan hak atas objek tersebut adalah para petani
atau warga yang sudah puluhan tahun menguasai dan menggarap lahan Eks Kebun
Karet itu. Bukan PTPN XIV atau Pemda Luwu, dan atau Yayasan To Ciung Luwu maupun UNANDA.
Penyerahan
lahan Eks Kebun Karet seluas 30 hektar oleh Bupati Luwu kepada Yayasan To Ciung
Luwu untuk lokasi pembangunan kampus baru UNANDA di Desa Bara’mamase, Kecamatan
Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel, “jelas
sangat keliru dan salah” jika mengacu pada Permendagri No. 3 Tahun 1979 Pasal
7 ayat (2), karena UNANDA adalah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) bukan PTN (Perguruan
Tinggi Negeri). Demikian pula jika mengacu pada PP No.24 Tahun 1997 Pasal 24
ayat (2), karena Pemda Luwu tidak pernah menguasai secara fisik lahan tersebut.
Selain
itu, pemberian tanah oleh Bupati Luwu kepada Yayasan To Ciung Luwu untuk lokasi
pembangunan kampus baru UNANDA di Desa Bara’mamase, juga bertentangan dengan
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI) No. 3
Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2006 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, maupun
Peraturan BPN RI No. 5 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, serta ketentuan UU No. 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah untuk Fasilitas Umum.
Upaya
penguasaan lahan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase, Kabupaten Luwu, Sulsel,
seluas 30 hektar oleh Pemda Luwu maupun oleh Yayasan To Ciung Luwu atau UNANDA,
juga terkesan sangat dipaksakan dan menghalalkan segala macam cara jika
mencermati, Laporan Universitas Andi Djemma (UNANDA) dan Bupati Luwu, serta
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Luwu bersama BPN Wilayah Sulsel
kepada BPN Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa lahan tersebut adalah tanah kosong. Laporan itu, jelas
mengada-ada karena faktanya lahan tersebut merupakan lokasi pemukiman warga,
serta telah dikelolah sejak tahun 1970-an sebagai lahan pertanian khususnya
padi dan tanaman palawija oleh warga Dusun Lemo Tua, Desa Bara’mamase. Lahan
tersebut juga sangat produktif, jika melihat hasil produksi komoditas hasil
pertanian para petani yang menggarapnya.
Demikian pula dengan cara
atau metode pengosongan (penggusuran) lahan tersebut yang sudah dua kali
dilaksanakan oleh pihak Pemda Luwu bersama UNANDA, pada Rabu, 12 April 2017 dan
Kamis, 4 Mei 2017 lalu, terkesan sangat berlebihan dan over acting, serta
begitu represhif karena tidak mengedepan cara-cara presuasive yang lebih
manusiawi. Mengedepankan pengerahan aparat gabungan TNI, Polri dan Satuan
Polisi Pamong Praja, saat melakukan pengosongan lahan dengan dalil penertiban
aset milik pemerintah adalah hal keliru. Cara-cara demikian, terkesan sangat
otoriter dan militeristik ala Orde Baru (Orba) Soeharto, padahal saat ini kita
sudah berada dalam fase reformasi, yang sejatinya semua pihak berusaha untuk
menjalankan agenda-agenda reformasi demi kesejatraan rakyat Indonesia, termasuk
para petani yang menggarap lahan Eks Kebun Karet di Dusun Lemo Tua, Desa
Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel.
Perlu diketahui, bahwa dalam
dua kali upaya pengosongan lahan Eks Kebun Karet di Desa Bara’mamase, yakni
pada Rabu, 12 April 2017 dan Kamis, 4 Mei 2017, puluhan warga dan satu orang
aktivis mahasiswa ditangkap dan dibawa ke kantor Polisi karena dianggap
menghalang-halangi proses penertiban aset pemerintah.
Berdasarkan
uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sudah sepantasnya dan sepatutnya warga
atau petani “Menolak dan Melawan” Surat
Usulan Kepala BPN Wilayah Sulsel,
masing-masing dengan Surat Nomor: 1497/100-73/IX/2012 dan Surat
Nomor:1499/100-73/IX/2012 tertanggal 19 November 2012, Perihal Usulan Pemberian
Hak Pakai atas nama Yayasan To Ciung Luwu, lahan Eks Kebun Karet seluas 30
hektar di Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel, yang
ditujukan Kepada Kepala BPN Republik Indonesia karena tidak memiliki dasar
hukum dan melanggar hak-hak warga Negara Indonesia yang sudah puluhan tahun
menguasai dan menggarap lahan tersebut.
*****
Solusi dan Saran ;
PARA petani penggarap lahan Eks
Kebun Karet di Desa Bara’mamase juga seharusnya, mengajukan GUGATAN kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Makassar untuk membatalkan Surat Persetujuan Menteri BUMN No. S-502/MBU/2013 tertanggal 2 Agustus 2013, Perihal Persetujuan Pelepasan Lahan Eks
HGU Perkebunan Karet milik PTPN VIX dan Surat Keputusan Bupati Luwu
Nomor: 335/VII/2011 tentang Penunjukan Lokasi Tanah untuk Pembangunan Kampus
Universitas Andi Djemma (UNANDA) seluas 30 hektar di Desa Bara’mamase,
Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel.
Karena paling tidak ada
beberapa keuntungan praktis yang dapat dinikmati oleh warga/petani Desa
Bara’mamase jika mengajukan gugatannya ke PTUN di Makassar, selama proses
hukumnya masih bergulir di pengadilan sampai adanya putusan inkcrah
(berkekuatan hukum tetap) antaralain ; (1)
pihak lain tidak dapat masuk untuk menguasai atau menggarap lahan (objek sengketa),
(2) warga atau petani selaku besitter (orang yang menguasai lahan
objek sengketa) tetap berhak untuk menggunakan dan menguasai objek sengketa,
sepanjang tidak dipindah-tangankan, (3) secara
ekonomis warga/petani yang hidupnya bergantungkan pada lahan objek sengketa, masih
dapat menikmati hasil dari lahan objek sengketa yang dimaksud, (4) warga/petani tidak berada dalam
ancaman baik secara fisik maupun spikis, dan
lain sebagainya.
Sementara
pada konteks penegakan hukum pidana, para petani penggarap lahan Eks Kebun
Karet di Desa Bara’mamase juga dapat melaporkan pihak Pemkab Luwu dan Yayasan
To Ciung Luwu atau UNANDA, kepada aparat penegak hukum (Polri) atas dugaan
perampasan tanah dan pengrusakan lahan pertanian, serta padi milik warga yang
digusur dengan menggunakan alat berat jenis Excavator pada Kamis, 4 Mei 2017
lalu.
Warga atau petani Desa
Bara’mamase, juga dapat melaporkan Bupati Luwu, Andi Mudzakkar atas dugaan
penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukannya, dengan menerbitkan Surat Keputusan Bupati Luwu Nomor:
335/VII/2011 tentang Penunjukan Lokasi Tanah untuk Pembangunan Kampus
Universitas Andi Djemma (UNANDA) seluas 30 hektar di Desa Bara’mamase,
Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel. Apa lagi jika Keputusan Bupati
Luwu tersebut tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Luwu
karena diduga melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Upaya
hukum atau proses hukum demikian, sejalan dengan sistem yang dianut oleh bangsa
kita, sebagai Negara hukum yang tunduk dan patuh terhadap segala keputusan hukum
yang bersifat final (inkcrah). Hal demikian juga untuk menghindari kita dari
berbagai subjektifitas cara berpikir atau pandangan, khususnya para pihak yang pro
dan kontra soal pembangunan kampus baru UNANDA, termasuk persepsi mengenai
siapa yang berhak untuk menguasai dan mengolah lahan Eks Kebun Karet di Dusun Lemo
Tua, Desa Bara’mamase, Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu, Sulsel.
*****
*)
Penulis adalah anggota Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) tidak bertanggung jawab atas komentar yang anda tulis pada halaman komentar, admin situs ini juga akan menghapus komentar yang tidak objektif dan atau postingan yang berbau SARA.