Selasa, 30 Mei 2023

Pro Kontra Tambang Emas Ilegal di Rampi - Luwu Utara, Polisi di Pihak Mana?

William Marthom

Diskusi dengan Para Aktivis Gerakan Rakyat di Kota Makassar Bahas Aktivitas PETI di Rampi

Oleh: William Marthom

PAGI buta saat penulis bangun tidur langsung beranjak dari dipan tempat baring menuju kamar mandi dan membilas muka dengan air di kran wastafel yang membuat perasaan langsung terasa segar bugar setelah beristirahat semalam suntuk karena lelah akibat diskusi hampir seharian bersama sejumlah aktivis dari berbagai organisasi mahasiswa dan rakyat di Makassar Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Selasa 30 Mei 2023.

Topik diskusi saat itu sangat menarik dan berlangsung alot karena membahas masalah pro dan kontra aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Onondowa, Kecamatan Rampi, Kabupaten Luwu Utara (Lutra), Sulsel.

Mengapa ada pro dan kontra? Yaa wajar saja, namanya diskusi yang sehat ngak boleh monoton bagi kalangan aktivis. Ini mengenai tradisi diskusi para aktivis yang selalu melihat suatu masalah dari berbagai macam sudut pandang. Meski pada akhirnya akan mengerucut pada sebuah kesimpulan yang hampir 100 persen disepakati para peserta diskusi sebagai bahagian dari proses dialektika dan dapat disebut sebagai solusi dari problematika tentang topik bahasan dalam sebuah diskusi.

Apa lagi yang namanya PETI, sebuah proses untuk mendapatkan mineral logam emas bernilai tinggi di pasaran legal maupun ilegal. Karena manusia pada dasarnya adalah mahluk yang cenderung berperilaku serakah ketika berebut rejeki untuk memperkaya diri maupun membiayai keluarga dalam upaya memenuhi kebutuhan berdasarkan keinginan. Fakta demikian, meski bukan menjadi ciri khas yang mutlak bagi umat manusia dalam bertahan hidup, namun tak jarang realitas  seperti ini, sering kali dijumpai dalam perjalanan hidup kita.

Kisah tentang situasi dan kondisi dalam diskusi yang berlangsung hari itu, sangat dinamis dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tapi itulah realitas dalam dunia para pejuang rakyat yang tak kenal pambri, walau beda pendapat namun tujuan mereka selalu sama-sama berpihak pada kepentingan rakyat demi terwujudnya kesejateraan rakyat untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kenapa demikian? Karena peserta diskusi ada yang galau atau bimbang bahkan gamang dalam meneriakkan kritik soal penegakan hukum terhadap para pelaku PETI di Rampi. Menurut kawan tersebut, jika kritik dan desakan terhadap para pelaku PETI di Rampi terus digalakkan secara massif, maka konsekuensinya apa bila hal itu direspon secara positif oleh Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal ini jajaran kepolisian pada tingkat Polres Lutra maupun Polda Sulsel, serta jajaran Mabes Polri, maka akan ada masyarakat adat Rampi atau warga lokal yang akan terjerat masalah hukum karena ikut melakukan penambangan emas secara ilegal di Rampi.

Namun pemikiran demikian, kemudian dapat dinetralisir atau bisa memahami konsekuensi hukumnya jika penegakan hukum masih dapat berdiri tegak lurus dalam menangani masalah PETI di Rampi. Sebab dalam penanganan masalah kejahatan extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) seperti kasus PETI di Rampi, harus dijalankan tanpa pandang bulu. Oleh karena hukum harus ditegakkan seadil-adilnya dan tidak boleh tumpul keatas dan tajam kebawah, maupun tajam kelawan dan tumpul kekawan, jika ingin mewujudkan penegakan supremasi hukum dan menghadirkan rasa adil di tengah-tengah masyarakat yang hidup di negara hukum.

Kegalauan demikian bukan tanpa alasan, karena para mafia PETI dalam menjalankan aktivitas ilegal miningnya, selalu menggunakan masyarakat lokal atau warga setempat sebagai tameng maupun perisai untuk berlindung dari jeratan hukum jika APH berniat menegakkan hukum berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) No 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU RI No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) sebagaimana diatur dalam Pasal 158 junto Pasal 161. Dan pelanggaran UU RI No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan, yang dirumuskan dalam Pasal 9 Ayat 1 junto Pasal 17 Ayat 1 subsidair Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHPidana.

*****

Mafia PETI Selalu Menjadikan Warga Lokal Sebagai Tameng Mereka untuk Menghindari Jeratan Hukum

Sama halnya di Rampi, para pemodal atau cukong PETI menjadikan warga lokal sebagai tameng mereka untuk menghindari jeratan hukum. Apa lagi Kecamatan Rampi dikenal sebagai wilayah terpencil, terluar dan tertinggal karena minimnya perhatian, serta infrastruktur yang dibangun pemerintah. Menjadi salah satu kelemahan warga setempat, sehingga mereka dengan mudah diiming-imingi penghasilan yang fantastis jika bekerjasama dengan para penjarah emas secara ilegal, tanpa memikirkan resiko hukum dan pencemaran lingkungan, serta kelestarian alam di sekitar lokasi tambang itu.

Apa lagi kondisi masyarakat Rampi yang terisolir karena jalan raya sebagai akses moda transportasi darat dari dan ke-Rampi sangat buruk sebab tidak mendapat perhatian serius dari Pemkab Lutra maupun Pemprov Sulsel apa lagi pemerintah pusat. Membuat masyarakat adat Rampi, hanya mengandalkan hasil dari sektor pertanian dan peternakan sebagai sumber pendapatan utama untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Sehingga kehadiran para mafia PETI untuk mengekploitasi kekayaan alam Tana Rampi (Woi Rampi-red), mendapat sambutan hangat dari warga setempat.

Sebab kehadiran para pemodal atau bos penambang emas ilegal di Rampi dengan segala peralatan moderennya berupa alat berat excavator serta mobil truck bisa menghadirkan lapangan kerja baru bagi warga Rampi, termasuk menjadi sumber mata pencaharian yang lebih menjanjikan hasilnya ketimbang bertani dan beternak. Karena dengan peralatan moderen itu, para penambang emas ilegal dapat menghasilkan lebih banyak emas dalam waktu singkat. Apa lagi dengan menggunakan zat kimia seperti Sianida (CN), Mercuri (Hg) dan Kapur Tohor (CaO) untuk mengolah material batuan yang mengandung logam emas menjadi emas murni, semua proses pencarian emas menjadi lebih gampang.

Hal demikian, tentu saja menjadi pilihan baru bagi masyarakat adat Rampi dalam berburu emas karena segalanya menjadi lebih muda untuk mendapatkan hasil yang cukup menggiurkan. Apa lagi sebelumnya di masa lampau, masyarakat adat Rampi di Kabupaten Lutra, Sulsel, sudah secara turun temurun berburu reski dengan mendulang emas secara manual dan tanpa menggunakan zat kimia yang berbahaya terhadap lingkungan dan mahluk hidup di sekitarnya termasuk bagi masyarakat setempat.

Kurangnya perhatian pemerintah dalam upaya mendorong sektor perekonomian masyarakat adat Rampi, juga membuat warga di daerah pedalaman itu tidak punya pilihan lain untuk menghasilkan uang agar kesejateraan yang mereka impikan dapat terwujud. Meski warga setempat yang ikut menambang emas secara ilegal di tanah ulayat mereka, sadar dan tahu akan pelanggaran hukum dalam upaya mencari nafka dengan cara menambang emas tanpa izin. Namun mereka tidak punya pilihan lain, untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih layak, termasuk biaya pendidikan buat anak cucu mereka.        

***** 

Aktivitas PETI di Rampi adalah Sebuah Pelanggaran Hukum, Para Pelaku Harus Tetap Diproses Hukum!

Namun dari aspek hukum, sesulit apapun kondisi masyarakat adat Rampi, tetap saja aktivitas PETI yang mereka lakukan adalah sebuah pelanggaran hukum. Sehingga para pelakunya harus tetap diproses hukum agar tidak berdampak buruk dan menjadi malapetaka di kemudian hari karena kerusakan alam dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan para pelaku ilegal mining tersebut.

Sayangnya APH dalam hal ini pihak kepolisian terkesan tutup mata, pura-pura tuli dan membisu, melihat pelanggaran hukum yang dilakukan para pelaku PETI di Rampi. Kendati praktek ilegal mining tersebut, acap kali disoroti berbagai pihak. Termasuk disorot oleh para pegiat dari kalangan LSM/NGO, aktivis mahasiswa bersama aktivis gerakan rakyat dan pemerhati lingkungan, tak terkecuali oleh sejumlah tokoh masyarakat adat Rampi yang tidak mau kompromi dengan mafia PETI. Tapi kritik itu, berlalu begitu saja dan tidak dapat membuat pihak kepolisian untuk mengambil tindakan hukum terhadap para pelaku tambang emas ilegal itu.

Sikap jajaran kepolisian yang terkesan melakukan pembiaran terhadap para pelaku PETI di Rampi,  membuat mahasiswa asal Kecamatan Rampi, Kabupaten Lutra yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Mahasiswa Rampi (IPMR) membangun kekuatan dengan mengajak sejumlah organisasi mahasiswa dan lembaga perjuangan rakyat di Kota Palopo untuk membentuk wadah perjuangan yang mereka sebut Aliansi Mahasiswa dan Rakyat (AMARA) Rampi, kata Ramon Dasinga Ketua Umum PB IPMR masa bakti 2020 - 2022, saat diskusi dengan para aktivis di Kantor Bersama Konfederasi Serikat Nusantara (KABAR KSN) di Makassar pada Selasa 30 Mei 2023.

Lebih lanjut Ramon menuturkan, pada tanggal 18 April 2023, PB IPMR bersama Ikatan Pelajar Mahasiswa Seko (IPMS), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) yang tergabung dalam AMARA Rampi  menggelar aksi unjukrasa di Mapolres Lutra. Mereka megajukan lima poin tuntutan dalam aksi ini, yakni (1) Hentikan aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kecamatan Rampi, Kabupaten Lutra, Sulsel. (2) Mendesak Kasat Reskrim Polres Lutra untuk segera menghentikan dan menangkap, serta memproses hukum para pelaku PETI di Kecamatan Rampi. (3) Copot Kapospol Rampi. (4) Mendesak Kapolres Lutra untuk segera mengundurkan diri dari jabatannya karena gagal menegakkan supremasi hukum, khususnya membasmi mafia PETI di Kabupaten Lutra. (5) Jika dalam tempo 7 x 24 jam jajaran Polres Lutra tidak menindak lanjuti tuntutan aksi ini, maka kami akan menggelar aksi besar-besaran di Mapolres Lutra dan Mapolda Sulsel.

Pasca aksi di Mapolres Lutra, jajaran Polres Lutra sama sekali tidak mengindahkan tuntutan AMARA Rampi. Kapolres Lutra AKBP Galih Indragiri, baru mengerahkan anak buahnya menuju lokasi PETI di Rampi pada Kamis 4 Mei 2023 setelah ada penambang emas ilegal yang mengalami kecelakaan kerja di lokasi tambang ilegal itu, pada Rabu 3 Mei 2023 malam sekitar pukul 23.00 WITA. Kecelakaan kerja tersebut, menelan dua korban yang tertimbun runtuhan material tambang. Satu orang meninggal dunia di tempat kejadian perkara, dan satu rekannya berhasil diselamatkan meski harus mendapat perwatan intensif selama berhari-hari di sebuah rumah sakit yang berada di Masamba Ibukota Kabupaten Lutra.  

Naifnya hingga awal bulan Mei, jajaran Polres Lutra belum menetapkan seorang tersangka dalam kasus PETI di Rampi, meski telah menelan korban jiwa. Membuat AMARA Rampi semakin geram dan menggelar aksi unjukrasa di Mapolda Sulsel dengan melibatkan sejumlah aktivis dari berbagai organisasi yang ada di Kota Makassar pada Senin 8 Mei 2023. Dalam aksi yang melibatkan aktivis Konfederasi Serikat Nusantara (KSN) Sulsel, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulsel, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sulsel, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, JURnal Celebes, Gerakan Rakyat Merdeka (GRM) dan Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) bersama IPMR, tersebut melibatkan massa hingga ratusan orang.

Saat aksi di Mapolda Sulsel, AMARA Rampi kembali mengajukan lima poin tuntutan, yakni (1) Hentikan aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kecamatan Rampi, Kabupaten Lutra, Sulsel. (2) Mendesak jajaran Polres Lutra untuk segera menghentikan dan menangkap, serta memproses hukum para pelaku PETI di Rampi. (3) Mendesak Kapolda Sulsel untuk segera mencopot Kapolres Lutra AKBP Galih Indragiri dari jabatannya karena gagal menegakkan supremasih hukum khususnya membasmi mafia PETI di Kabupaten Lutra. (4) Mendesak Kabid Propam Polda Sulsel untuk segera mengusut tuntas dugaan keterlibatan oknum aparat kepolisian dalam aktivitas PETI di Rampi. (5) Jika dalam tempo 7 x 24 jam tuntutan kami tidak dipenuhi maka kami akan menggelar aksi besar-besaran di Mapolda Sulsel dan Mabes Polri, serta di kementrian terkait.

Pasca aksi di Mapolda Sulsel, AMARA Rampi menilai progres penanganan kasus dugaan ilegal mining di Rampi, tidak mengalami kemajuan yang signifikan meski sudah menelan korban jiwa. Karena penyidik Polres Lutra telah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah pelaku yang menambang emas secara ilegal di Rampi, namun penyidik belum juga menetapkan seorang tersangka dalam kasus ini. Termasuk sama sekali belum menyita excavator, dan mobil truk serta peralatan lainnya yang digunakan para pelaku melakukan aktivitas ilegal miningnya.  

*****

Mafia PETI di Rampi Diduga Dibekengi oleh Orang yang Cukup Berpengaruh di Republik Ini?

Berdasarkan fakta yang diuraikan di atas, AMARA Rampi menduga para mafia PETI di Rampi dibekingi oleh orang yang cukup berpengaruh di Republik ini dan memiliki uang berlimpah untuk menyuap oknum tertentu agar tetap terbebas dari jeratan hukum. Apa lagi dalam aktivitas ilegal mining tersebut, mereka melibatkan sejumlah oknum polisi dan oknum politisi, serta pengusaha kawakan.  

Melihat carut-marudnya proses hukum dalam penanganan kasus PETI tersebut, pada Senin 15 Mei 2023 AMARA Rampi bersurat ke Pimpinan Komisi D DRPD Sulsel untuk menjadwalkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan melibatkan semua pihak terkait. Alhasil permohonan RDP yang diajukan AMARA Rampi direspon secara positif oleh Pimpinan Komisi D dan Pimpinan DPRD Sulsel. Maka pada Jumat 19 Mei 2023, RDP yang membahas masalah PETI di Rampi berlangsung di ruang rapat Komisi D DPRD Sulsel dengan melibatkan semua unsur terkait, baik dari jajaran Pemprov Sulsel maupun jajaran kementrian dari Inspektur Tambang dan Gakkum LHK, hingga aparat kepolisan dari jajaran Polda Sulsel.

Kendati RDP tersebut berlangsung alot, namun semua pihak yang hadir dalam forum itu sepakat untuk menyamakan persepsi. Para peserta sepakat bahwa aktivitas PETI di Rampi adalah sebuah pelanggaran hukum yang harus ditindak secara hukum oleh pihak terkait dalam hal ini jajaran kepolisian. Peserta RDP juga bersepakat untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) PT Kalla Arebamma dan IUP OP PT Citra Palu Mineral yang memiliki wilayah konsesi di Kecamatan Rampi, Kabupaten Lutra, Sulsel. Sebab kedua perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan emas itu, sudah lama mengantongi IUP namun tidak melakukan aktivitas produksi emas di wilayah konsesinya.

Selain itu, peserta RDP juga sependapat bahwa selama ini pemerintah baik pada tingkat Pemkab Lutra, Pemprov Sulsel maupun Pemerintah Pusat, masih kurang memperhatikan pembangunan infrastruktur jalan dan fasilitas umum lainnya untuk masyarakat Kecamatan Rampi. Sehingga dengan segala keterbatasan itu, maka salah satu solusi terbaik untuk masyarakat adat Rampi, mereka harus dilegalisasi dalam mengelolah sumber daya alam (SDA) di tanah ulayatnya.

Proses legalisasi pengelolaan SDA berupa logam emas di Rampi untuk masyarakat adat Rampi, akan  diawali dengan pencabutan IUP OP PT Kalla Arebamma dan PT Citra Palu Mineral. Kemudian diupayakan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di Kecamatan Rampi, lalu menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) agar masyarakat adat Rampi dapat melakukan aktivitas pertambangan emas secara legal di tanah leluhur mereka.

Pro Kontra Tambang Emas Ilegal di Rampi - Luwu Utara, Polisi di Pihak Mana?

Namun di sisi lain, sebagian kecil masyarakat adat Rampi yang terlibat aktivitas PETI di Desa Onondowa Kecamatan Rampi, Kabupaten Lutra, ketakutan akan diproses hukum karena selama ini mereka ikut menambang secara ilegal di tanah ulayatnya. Mereka tidak mau disebut melanggar hukum, apa lagi mencuri emas karena menambang secara ilegal di tanah leluhurnya. Sementara di lain pihak,  AMARA Rampi yang diinisiasi oleh Ikatan Pelajar Mahasiswa Rampi (IPMR), mendesak agar para pelaku PETI di Rampi harus segera diproses hukum karena telah melanggar aturan perundang-undangan dan merusak, serta mencemari lingkungan.

Akibatnya, gelombang aksi pro dan kontra masalah aktivitas PETI di Rampi tidak terhindarkan. Sehingga pada Selasa 23 Mei 2023 Lembaga Adat Desa Onondowa yang merupakan bahagian dari masyarakat adat Rampi, menggelar aksi unjukrasa menuntut agar AMARA Rampi dibubarkan. Meski pada sisi lainnya aksi yang digelar di Desa Onondowa, Kecamatan Rampi, Kabupaten Lutra tersebut, juga mengajukan tuntutan yang sama dengan apa yang diperjuangkan oleh AMARA Rampi, yakni mendesak pencabutan IUP OP PT Kalla Arebamma dan PT Citra Palu Mineral.

Menurut hemat penulis, aksi pro dan kontra mengenai PETI di Rampi dapat dihindarkan jika aparat kepolisian yang berwenang untuk memproses hukum para pelaku ilegal mining di Rampi, mampu menjalankan tugasnya dalam menegakkan supremasi hukum secara mandiri tanpa harus ditekan oleh publik. Namun sikap jajaran Polres Lutra yang terkesan melakukan pembiaran dalam kasus ini, malah berpotensi melahirkan perpecahan di tengah-tengah masyarakat adat Rampi. Sebab AMARA Rampi, tidak akan tinggal diam jika para pelaku PETI di Rampi belum diproses hukum sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Jika sikap pro kontra di tengah masyarakat adat Rampi ini berlangsung lama, selain rentan berbuntut perpecahan, juga berpotensi mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat di Kecamatan Rampi, bahkan bisa menjalar kesejumlah daerah.  

Nah dalam dinamika lahirnya sikap pro kontra terkait masalah PETI di Rampi saat ini, di benak penulis terbesit pertanyaan fundamental, “polisi di pihak mana?” atau kah “konflik ini sengaja dipelihara untuk mengalihkan issu maupun memecah belah masyarakat adat Rampi agar muda di susupi dan setelah kekuatan mereka dipecah menjadi dua kekuatan yang saling berkontradiksi sebagai mana ciri khas mafia PETI dalam melancarkan eksploitasi kekayaan alam  pada sejumlah daerah di Indonesia?”    

*****

Saran dan Solusi

Terkait upaya untuk melegalkan aktivitas pertambangan emas bagi masyarakat adat Rampi, menurut penulis hal itu dapat diwujudkan secepatnya dengan beberapa varian dan tahapan, yakni:

Pertama - Bupati Lutra Indah Putri Indriana mengusulkan permohonan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di wilayah Kecamatan Rampi yang memiliki kandungan emas di luar wilayah IUP PT Kalla Arebamma dan PT Citra Palu Mineral.

Kedua - Bupati Lutra Indah Putri Indriani mendesak pihak PT Kalla Arebamma dan PT Citra Palu Mineral untuk menciutkan wilayah konsesinya di Kecamatan Rampi agar wilayah yang dilepas itu, dapat ditetapkan sebagai WPR.

Ketiga - Bupati Lutra Indah Putri Indriani menggalang kekuatan masyarakat Lutra khususnya masyarakat adat Rampi dan kekuatan politik untuk berjuang bersama, guna mendesak pencabutan IUP OP PT Kalla Arebamma dan PT Citra Palu Mineral. 

Keempat - Jika pencabutan IUP OP PT Kalla Arebamma dan PT Citra Palu Mineral berhasil dilakukan, maka wilayah konsesi kedua perusahaan tambang tersebut, segera ditetapkan sebagai WPR agar masyarakat adat Rampi bisa mengajukan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) supaya bisa menambang emas di tanah ulayat mereka secara legal dan tidak melanggar hukum.

Kelima - Pemda Lutra dan semua pihak terkait harus menutup ruang bagi mafia PETI yang hendak  mengeksploitasi SDA di Rampi. Karena negara tidak boleh kalah dengan mafia.  

Keenam - Proses usulan WPR dan IPR harus dipercepat agar masyarakat adat Rampi dapat mengelolah SDA di wilayah adatnya demi mewujudkan kesejateraan dan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.  

Akhir kata, penulis memohon maaf jika tulisan ini menyinggung perasaan pembaca dan terkesan menggurui. Semoga bermanfaat. Wassalam. (***)

***) Penulis adalah aktivis Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) yang terlibat aktif dalam perjuangan AMARA Rampi melawan aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Onondowa, Kecamatan Rampi, Kabupaten Lutra, Sulsel.     

Sabtu, 27 Maret 2021

Namanya Muhammad Asrul, Diduga Ia Dizolimi Oknum Kekuasaan di Palopo!

 

Selama 2 tahun nasibnya terkatung-katung.

Oleh: Drs. Andre Vincent Wenas, MM, MBA

MUNGKIN isu ini tidak terlalu terdengar di blantika wacana politik-hukum tingkat nasional.

Tapi sesungguhnyalah kisah yang ia alami adalah sebuah tragedi kemanusiaan di atas kasus gugatan oknum kekuasaan dengan memakai pasal karet UU ITE terhadapnya.

Apa masalahnya dan siapa Muhammad Asrul? Mengapa kasusnya sampai memakan waktu 2 tahun? Mengapa ia sampai bisa diancam pidana penjara maksimal 10 tahun?

Muhammad Asrul adalah seorang wartawan Berita.News, dalam melakukan kerja jurnalistiknya ia mewartakan tentang kasus dugaan praktek korupsi di Palopo, Sulawesi Selatan.

Rupanya kasus yang diberitakannya terkait dengan anak penguasa daerah sana. Lalu Asrul pun dituntut dengan UU ITE yang sekarang kita kenal dengan pasal karetnya: Pencemaran Nama Baik!

Dua tahun yang lalu, tahun 2019, Muhammad Asrul menulis karya jurnalistiknya di Berita.News atas kesepakatan rapat dewan redaksinya tentu. Apa yang ia tulis?

Ada tiga berita investigatifnya yang akhirnya dipermasalahkan oleh sang anak penguasa itu, namanya Farid Kasim Judas, ia putera dari Walikota Palopo Drs. HM. Judas Amir, MH.

Kabarnya Farid Kasim Judas juga menjabat sebagai Plt Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Palopo.

Ketiga laporan jurnalistik investigasi yang dipersoalkan oleh Farid Kasim Judas adalah:

1) “Putra Mahkota Palopo Diduga “Dalang” Korupsi PLTMH dan Keripik Zaro Rp11 M”, tulisan ini terbit 10 Mei 2019.

2) “Aroma Korupsi Revitalisasi Lapangan Pancasila Palopo Diduga Seret Farid Judas” terbit 24 Mei 2019.

3) “Jilid II Korupsi jalan Lingkar Barat Rp5 M, Sinyal Penyidik Untuk Farid Judas?” terbit pada 25 Mei 2019.

Bulan Mei 2019 pun berlalu, dan pada bulan Juni 2019 tanggal 14, jadi sekitar 3 minggu setelah berita yang ditulis Muhammad Asrul per tanggal 25 Mei 2019 terbit. Ia seperti laporan LBH Makassar – dilaporkan ke pihak kepolisian oleh Farid Kasim Judas atas tuduhan: Pencemaran Nama Baik.

Bukankah dalam aturannya jika ada yang keberatan terhadap suatu pemberitaan, ia bisa menggunakan hak jawabnya. Atau kalau perlu bawa ke sidang Dewan Pers.

Namun, 6 bulan kemudian, pada tanggal 17 Desember 2019, Farid Kasim Judas membuat aduan yang tercatat dalam Laporan Polisi Nomor:  LPB/465/XII/2019/SPKT.

Berdasarkan aduan ini, polisi pun menindaklanjuti dengan penangkapan terhadap Muhammad Asrul.

Kasusnya masih terus berlanjut, sampai pada 29 Januari 2020. Siang hari Muhammad Asrul dijemput paksa oleh kepolisian. Ia pun digelandang ke Polda Sulawesi Selatan, katanya untuk dimintai keterangan. Namun ia tidak didampingi oleh penasihat hukum!

Proses BAP oleh penyidik terhadap Muhammad Asrul berlangsung sekitar 5 jam (jam 15.30 sampai jam 20.30 WITA). Herannya, seusai proses BAP, ia langsung ditahan di Rutan Mapolda Sulsel!



Penahanannya selama 36 hari!

Baru pada tanggal 16 Maret 2021, kasus Asrul ini mulai disidangkan. Luar biasanya, Jaksa sampai mendakwa Asrul dengan pasal berlapis, yaitu soal: 1) Berita bohong: pasal 14 UU No 1/1946, 2) Ujaran kebencian: pasal 28 ayat 2 UU ITE, 3) Pencemaran nama baik: pasal 27 ayat 3 UU ITE.

Sampai ke tanggal 23 Maret 2021 kemarin ini, barulah digelar sidang kedua dari kasus Muhammad Asrul, sang jurnalis Berita.News. Agenda sidangnya adalah pembacaan ekspesi (penolakan/keberatan terdakwa).

Sebelumnya, Dewan Pers sebetulnya sudah turun tangan untuk ikut menjelaskan bahwa berita yang ditulis oleh Muhammad Asrul itu adalah produk karya jurnalistik.

Dan kalau ada yang keberatan terhadap karya jurnalistik maka mekanisme sengketanya mesti lewat Dewan Pers dan bukan lewat pengadilan pidana. Namun ini diabaikan oleh Kepolisian maupun Kejaksaan Negeri Palopo.

Bagi kita, kasus ini sekali lagi bukanlah sekedar masalah pasal karet UU ITE yang rentan disalahgunakan oleh mereka yang berkuasa.

Mentang-mentang punya kuasa bisa seenaknya menzolimi seorang wartawan yang sedang menjalankan fungsinya sebagai pewarta dan penjaga kontrol-sosial.

Media-massa (pers) adalah pilar keempat demokrasi setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Bila kita simak kasus ini, yang mulai sejak Mei-Juni 2019, lalu ada penahanan terhadap Muhammad Asrul pasca BAP tanpa didampingi penasehat hukumnya, dan terus berlarut-larut sampai 2 tahun. Terasa sekali aroma penzoliman terhadap dirinya oleh oknum kekuasaan. Bahkan ada yang sampai mensinyalir bahwa ini adalah suatu ‘abuse of power’ yang nampaknya sengaja untuk “menyiksa” (menzolimi) Muhammad Asrul. Untuk apa?

Entah ini juga sebagai signal keras yang dilancarkan oknum penguasa itu kepada para wartawan lain ataupun para social-influencers agar “jangan macam-macam” dengan sang oknum penguasa? Walahuallam!

Namun yang jelas, Muhammad Asrul sepanjang masa dua tahun terakhir ini jadi terkatung-katung nasibnya. Ia jelas menderita lahir-batin.

Atas nama keadilan dan peri-kemanusiaan, kasus Muhammad Asrul tidak bisa diabaikan.

Walau saat ini Muhammad Asrul sudah didampingi oleh Koalisi Pembela Kebebasan Pers: YLBHI-LBH Makassar, SAFEnet, dan KPJKB, namun jelas ia masih butuh dukungan publik. Dukungan untuk apa?

Untuk: Bebaskan Muhammad Asrul!

Inilah salah satu korban pasal karet UU ITE yang waktu itu sempat dikritisi sendiri oleh Presiden Joko Widodo. Beliau bahkan bakal meminta DPR RI untuk merevisinya, lantaran ditengarai justru banyak ketidak adilan dan praktek ‘abuse of power’ oleh oknum penguasa dalam penerapan pasal-pasal karet ini.

#JurnalisBukanKriminal #SemuaBisaKena #DampakBurukUUITE

Akhirnya kita juga ingin mengingatkan,“The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.” – Edmund Burke.

Rabu, (24/03/2021)

***) Penulis adalah Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).

Rabu, 20 Januari 2021

Problematika Dunia Kampus

Ones Pabua
Ada Apa dengan Dunia Kampus ?

Oleh : Ones Pabua

BICARA tentang dunia kampus tentu tidak akan lepas dari berbagai macam problematika yang ada di dalamnya. Entah itu di perguruan tinggi negeri maupun di perguruan tinggi swasta.

Problem yang lazim kita jumpai dalam dunia kampus antara lain, fasilitas kampus yang tidak memadai, termasuk uang kuliah yang tinggi atau mahal, dan berbagai macam problem lainnya yang pada umumnya merugikan para mahasiswa.

Tak terkecualia upaya pembungkaman terhadap sikap kritis mahasiswa menjadi hal yang sangat lumrah di temui.

Tentu hal-hal seperti demikian, membuat sebahagian mahasiswa menjadi risih dan mencoba untuk mengubah situasi tersebut. Mahasiswa yang bersikap seperti itu biasanya tergolong aktivis mahasiswa atau mereka yang aktif di organisasi kemahasiswaan.

Mahasiswa yang kritis adalah mereka yang lahir dan bertumbuh dalam budaya-budaya diskusi. Berbeda dengan beberapa mahasiswa lainnya yang lebih condong berjiwa pragmatis dan menutup diri bagi organisasi kemahasiswaan. Orientasi mahasiswa semacam ini, pada umumnya berupaya menyelesaikan kuliah secepat mungkin. Dan bagi mereka organisasi hanya akan menghambat kuliah.

Masa Pandemi Covid-19

Kini berbagai macam problematika dalam dunia kampus semakin diperparah dengan adanya pandemi Covid-19. Bahkan bukan hanya berdampak pada perguruan tinggi, namun hampir semua sektor merasakan imbas dari pada wabah tersebut. Termasuk sektor ekonomi yang sangat vital, karena berhubungan langsung dengan sektor pendidikan.

Tentu perekonomian yang kian merosot membuat sebagian mahasiswa yang kurang beruntung dengan penghasilan keluarga rendah, menjadi kewalahan dalam memenuhi kewajiban membayar uang kuliah.

Ironisnya, kebijakan yang dikeluarkan pihak birokrasi kampus masih belum mampu menjawab persoalan tersebut. Bahkan kebijakan yang katanya merepresentasikan kepentingan mahasiswa berupa beasiswa, terkesan tidak adil, karena tujuan dari pada bantuan yang diberikan banyak yang tidak tepat sasaran.

Dimasa pandemi Covid-19, yang lebih memprihatinkan lagi adalah mahasiswa angkatan baru yang sama sekali belum pernah menikmati fasilitas kampus akibat diberlakukannya kuliah during atau kuliah online, juga masih diwajibkan membayar uang kuliah penuh tanpa potongan atau dispensasi (pengurangan uang kuliah). Sangat miris bukan? Ini menjadi pertanyaan yang fundamental bagi kita selaku mahasiswa, bagaimana cara menyikapi problem demikian? Apakah membiarkan sistem seperti ini, terus berlanjut atau mencoba untuk mengubahnya dengan segala resiko yang ada?

Kendati, sebagian mahasiswa telah melayangkan protes dalam bentuk petisi maupun demonstrasi sebagai respon atas problematika semacam itu, namun sebagian juga terkesan apatis terhadap realitas yang ada.

Sehingga tak jarang protes para mahasiswa kritis, hanya menemui jalan buntu. Karena tidak ada kejelasan dari sang pemegang otoritas kampus. Bahkan tak jarang perjuangan mahasiswa kritis, malah direpresif oleh para birokrat kampus yang anti kritik dengan sanksi skorsing hingga sanksi drop out atau dihentikan studinya (dikeluarkan dari kampus).  

Entah sampai kapan problematika demikian bisa berakhir dan siapa yang dapat memecahkan masalah yang tak kunjung ada habisnya itu? Semoga kita dapat menjadi bahagian dari sumber solusi untuk mengatasi problem demikian. Amin.

***) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Cokroaminoto Palopo dan Aktivis Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Palopo