Rahmat Karim “Ories” Foxchy |
Menggugat Sejarah “Kartini” Sebagai Simbol Pejuang Hak-hak Emansipasi Wanita di Indonesia?
Penulis : Rahmat Karim “Ories” Foxchy (Direktur Excekutif LSM Pembela Arus Bawah)
Kenapa harus menggugat perjuangan “Raden Ajeng Kartini” atau “Kartini”
sebagaimana yang diperingati setiap tahun pada tanggal 24 April
tersebut? Tentunya ini adalah sebuah pertanyaan yang sangat
bersifat kontroversial, dan dipastikan pula akan mendapat kecaman atau
tudingan dari berbagai kalangan bahwa penulis adalah sama sekali tidak
memiliki jiwa patriotisme dan semangat nasionalisme.
Menurut
sejarahnya di masa lampau, bahwa “Kartini” adalah sosok perempuan
Indonesia, lahir pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah.
Kemudian disebut-sebut sebagai simbol “pejuang bagi hak-hak emansipasi
wanita” di era penjajahan Belanda.
Namun metode perjuangannya,
justru tidak sepatriotik dengan para pahlawan perempuan lainnya dalam
sejarah nasional. Pasalnya, “Kartini” diketahui adalah tidak pernah
mengangkat senjata untuk memimpin sebuah pergerakan perlawanan terhadap
pasukan militer kaum penjajah Belanda.
Setelah membuka file
tentang sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia, maka perjuangan
“Kartini” adalah rupanya belum ada apa-apanya, apabila dibandingkan
dengan semangat partriotisme yang ditunjukkan oleh seorang wanita Aceh
bernama Laksamana Keumalahayati.
Bahkan Keumalahayati yang lahir
pada masa kejayaan Aceh, tepatnya pada akhir abad ke-XV, justru
disebut-sebut sebagai wanita pertama di dunia yang pernah menjadi Laksamana. Adapun sejarah perjuangannya, silahkan minta bantuan Bang
Google !!! hee...hee...hee
Jika berbicara mengenai semangat
perjuangan terhadap hak-hak emansipasi wanita (persamaan gender) di
Indonesia, maka mestinya Keumalahayati-lah yang terdepan. Karena baru
dialah satu-satunya wanita pertama di dunia yang pernah menyandang
pangkat Jenderal berbintang empat, dalam dinas kemititeran sebagai Laksamana.
Masih ada perempuan pejuang asal Aceh lainnya yang tak
kalah memiliki semangat patriotismenya, dengan begitu heroiknya
mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan tehadap kekuatan militer
penjajahan Belanda, yaitu Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia.
Selain itu, bahwa ada juga pejuang perempuan asal Ambon bernama Martha
Christina Tiahahu, termasuk Opu Daeng Risaju dari Luwu. Adapun semangat
heroisme para perempuan ini, sehingga turun langsung di medan perang
untuk mengangkat senjata, demi perjuangan dan semangat perlawanan
terhadap kekuatan militer penjajah Belanda, menurut zamannya
masing-masing.
Ada pula perempuan Sunda bernama Raden Dewi
Sartika dan perempuan Betawi bernama Hajjah Rangkayo Rasuna Said.
Kendati dalam perjuagannya adalah bukan melalui komprontasi dengan cara
kontak senjata di medan perang yang sifatnya mematikan. Namun justru
terang-terangan melakukan pergerakan perlawanan terhadap kaum penjajah
Belanda.
Sedangkan “Kartini”, menurut sejarahnya adalah hanya
sebatas berkeluh kesah (Curhat-red), mengenai nasib “Wanita Pribumi”, untuk
dituangkan dalam bentuk surat-menyurat, sebagaimana yang senantiasa dia
kirimkan kepada sahabat-sahabatnya di Negeri Belanda sana.
Bukannya dikirim langsung kepada Ratu Belanda di Amsterdam, untuk
dijadikan sebagi simbol perjuangan demi melawan tirani kekuasaan
penjajahan pemerintahan Sang Ratu, pada salah satu negara di kawasan
Benua Eropa ini.
Hal inilah, sehingga ada yang sudah mulai
mempertentangkan kapasitas perjuangan “Kartini” pada zamannya. Kok,
berjuang dengan cara berkorespondensi dengan warga Belanda, di mana
negaranya adalah nota bene sebagai penjajah tersebut ?
Boleh jadi,
bahwa masih banyak perempuan-perempuan pribumi tanpa nama lainnya yang
justru jauh menunjukkan semangat heroismenya terhadap perjuangan
persamaan gender, demi melepaskan negeri ini (Indonesia) dari cengkraman
penjajahan, ketimbang “Kartini” pada zamannya.
Terlebih
munculnya “Kartini” dalam perspektif sejarah nasional, nampaknya adalah
dilatarbelakangi atas adanya buku yang dicetak di Negeri Belanda pada
zamanya, berjudul “Door Duistermis tox Licht”.
Kemudian judul
buku ini dikenal dengan istilah “Habis Gelap Terbitlah Terang”, disusun
menurut dari kumpulan surat-surat “Kartini” yang senantiasa Ia kirimkan
kepada teman-temannya di negeri kincir angin tersebut.
Pertanyaannya, bahwa apa benar seorang “Kartini” merupakan suatu fakta
sejarah, jika dirinya adalah berkorespondensi dengan begitu banyak
temannya di negeri asal penjajah. Mungkinkah seorang “Kartini” mampu
menulis surat atau berkirim surat sebanyak itu ? Lalu apa pula
istimewanya, sehingga ada penulis di Negeri Belanda menerbitkannya
menjadi sebuah judul buku ?
Sedangkan pada zamannya adalah sama
sekali tidak didukung oleh sistim jasa pelayanan Pos dan Giro, terlebih
nan jauh di Benua Eropa sana. Bahkan di era modern sekarang ini, rasanya
masih agak mustahil ada orang yang menulis surat-surat pribadi, hingga
mencapai satu judul buku, kecuali adalah sifatnya suatu instansi.
Bahwa seperti apa caranya seorang penulis buku dalam mengumpulkan
surat-surat “Kartini”. Lalu bagaimana pula ia bisa mengenal nama-nama
dan alamat teman-teman “Kartini” yang tersebar di Negeri Belanda sana.
Kemudian penulis ini, menerbitkannya buku berjudul “Door Duistermis tox
Licht” atau “Habis Gelap TerbitlahTerang” tersebut ?
Hal-hal
inilah semua, apabila menggunakan logika sehingga patut untuk
mempertanyakan tentang eksistensi sejarah “Kartini”, sebagai seorang
perempuan Indonesia yang paling terdepan dalam memperjuangkan hak-hak
emansipasi wanita.
Boleh jadi pemerintah Belanda pada zamannya,
justru menjadikan “Kartini” sebagai simbol kekuatan politik diplomasi
untuk menunjukkan kepada dunia, bahwa sistem penjajahannya di Indonesia
adalah menjunjung tinggi harkat dan martabat umat manusia.
Pasalnya, berbagai bangsa di dunia ini, khususnya dari Benua Eropa
adalah sangat berlomba untuk bermaksud menguasai Sumber Daya Alam (SDA)
yang begitu melimpah di Bumi Nusantara ini.
Maka dengan judul
buku dalam pengertian bahasa Indonsia disebut “Habis Gelap Terbitlah
Terang” itulah, kemungkinnnya untuk dijadikan Kerajaan Belanda dalam
mempengaruhi peta kekuatan politik dunia, tak lain untuk melangengkan
praktek-praktek penjajahannya di Indonasia pada zamannya.
Apalagi “Kartini” adalah sebuah nama yang sangat melekat dengan identias sosok Wanita Pribumi kelahiran Jawa, atau perempuan Indonesia pada umumnya.
Bahwa jangankan kaum hawanya, terlebih namanya bagi kalangan kaum
adamnya, telah memasuki sebuah era baru dalam memperjuangkan persamaan
hak.
Pada gilirannya, bangsa-bangsa Eropa yang dikenal dalam
sejarah adalah memiliki sifat-sifat imperialistik, menjadi berpikir
untuk tidak menggangu eksistensi penjajahan Belanda di Indonesia.
Boleh jadi dokrin seperti inilah, maka dijadikan sebagai taktik politik
oleh Kerajaan Belanda, supaya tetap mendapat dukungan politik dunia,
demi mengamankan wilayah jajahannya di Indonesia.
Betulkah Wanita-Wanita Hebat Indonesia Terinspirasi dengan “Kartini”?
Bahwa tidak dapat dipungkiri, jika pada era kekinian adalah sudah
sangat banyak wanita Indonesia yang hebat, dengan menduduki posisi
penting dan bersifat strategis dalam segala ranah keorganisasian dan
profesi.
Hal tersebut, tidak hanya tampil pada tingkat lokalan
tapi sudah tidak sedikit pula yang menduduki posisi-posisi penting dan
bersifat strategis pada tingkat nasional, bahkan juga sudah hadir pada
skala tingkat dunia sekalipun. Namun apakah benar, eksistensi
wanita-wanita hebat Indonesia tersebut adalah awalnya terinspirasi oleh
ketokohan “Kartini?”
Jikalau itu yang dijadikan sebagai landasan
berpikir, maka kenapa setalah wafatnya “Kartini”, justru tidak
bermunculan sejumlah perempuan generasi baru untuk tampil memperjuangkan
hak-hak emansipasi wanita. Menandakan bahwa “Kartini” adalah sama
sekali tidak memberikan inspirasi apa-apa bagi kaum wanita Indonesia
sesudahnya.
Itu mungkin akibat, lantaran prestasi dari perjuangan
“Kartini” sendiri, tidak sehebat perempuan-perempuan Indonesia yang
pernah tampil heroik, ketika melakukan perlawanan terhadap pasukan
militer penjajahan Belanda. Karena “Kartini” adalah hanyalah seorang
wanita pingitan dalam tradisi kehidupan priyai Jawa yang lembut.
Apalagi nama “Kartini” adalah begitu indah didengar di telinga,
sehingga sangat mudah diingat. Akhirnya penguasa nasional dari rejim ke
rejim, menilai bahwa dapat dijadikan sebagai simbol perekat wanita
Indonesia, sehingga tanggal kelahirannya diperingati setiap tahun.
Sedangkan, semakin munculnya wanita-wanita hebat Indonesia, karena itu
akibat adanya perubahan politik dalam menjawab setiap tuntutan zaman.
Terlebih pada era reformasi sekarang ini, sehingga menempatkan cukup
banyak wanita yang memainkan peranya sebagai politisi, baik yang duduk
menjadi legislator maupun yang tampil menjadi kepala daerah.
Hal
tersebut, karena memang dari awalnya didorong oleh keluarganya sendiri
dan adanya ruang politik yang dibuka oleh pemerintah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dalam memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga
negara. Pada gilirannya, mengangkat banyak wanita-wanita hebat di
negeri ini yang tampil di ruang publik.
Kendati “Kartini”
dicurigai oleh kalangan tertentu sebagai alat politik etis penjajah
Belanda. Namun jelasnya bahwa nama ini adalah sangat mengidentikkan nama
perempuan-perempuan asli Indonsia . Untuk itu, harapan ke depan lebih
banyak lagi lahir wanita-wanita Indonesia hebat. (*****)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) tidak bertanggung jawab atas komentar yang anda tulis pada halaman komentar, admin situs ini juga akan menghapus komentar yang tidak objektif dan atau postingan yang berbau SARA.