William Marthom |
Kaum Buruh Harus
Bersatupadu Membangun Gerakan Massa Menolak UMP yang Pro Pengusaha dan
Kapitalisme
Oleh : William Marthom
SETIAP akhir tahun atau
menjelang penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota
(UMK) hampir seluruh daerah di Indonesia kaum buruh/pekerja menggelar aksi demo
atau unjukrasa menuntut penetapan upah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup
layak (KHL) bagi buruh dan keluarganya.
Hal
serupa juga marak terjadi setelah UMP dan UMK ditetapkan oleh gubernur dan
bupati atau walikota, karena upah yang ditetapkan oleh para kepala daerah itu,
mayoritas lebih rendah dari harapan kaum buruh sebab jauh di bawah KHL. Mereka
yang menetapkan upah minimum bagi buruh cenderung lebih berpihak pada
pengusaha.
Tak
jarang pula, rapat-rapat Dewan Pengupahan Provinsi maupun kabupaten/kota
berakhir deadlock karena perwakilan kaum buruh selalu menuntut penetapan upah
yang dapat memenuhi KHL bagi buruh dan keluarganya, sebaliknya para perwakilan
pengusaha justru mengharapkan penetapan upah yang lebih rendah atau murah agar mereka
bisa mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara menekan upah
buruhnya.
Situasi
demikian menjadi pemicu menjamurnya aksi-aksi massa yang digerakkan oleh para
aktivis serikat pekerja/buruh pada sejumlah daerah di Indonesia utamanya di
kabupaten/kota yang menjadi basis industri, seperti Batam, Semarang, Surabaya,
Karawang, Bekasi, Tangerang dan Makassar, tak terkecuali DKI Jakarta yang
merupakan Ibukota Negera dan pusat kekuasaan di republik ini.
Fenomena
dunia perburuhan pada akhir tahun ini (2017) juga diprediksi bakal memanas
terkait dengan penatapan UMP Tahun 2018 yang secara umum ditetapkan oleh para
gubernur pada awal November 2017 dengan mengacu pada PP No 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan, karena Peraturan Pemerintah (PP) tersebut, menggunakan
formulasi kenaikan upah dengan berdasarkan pada inflasi ditambah pertumbuhan
ekonomi.
Khusus
di Ibukota Negara tahun ini, diprediksi situasinya akan lebih memanas setelah
UMP DKI Jakarta ditetapkan oleh Anies Baswedan dengan mengingkari atau melanggar KONTRAK POLITIK yang disepakati
bersama dengan Koalisi Buruh Jakarta saat paket Anis Baswedan-Sandiaga Uno maju
bertarung dalam Pilgub DKI Jakarta pada awal tahun 2017 lalu.
Sebagai
konsekwensi dari pegingkaran terhadap Kontrak Politik tersebut, dapat
dipastikan Koalisi Buruh Jakarta akan melakukan perlawanan ekstra parlementer
atau aksi massa secara besar-besaran di DKI Jakarta dan akan menarik dukungan
politiknya kepada Anies-Sandi, termasuk akan mengambil sikap politik beroposisi
pada pemerintahan Anies-Sandi di DKI Jakarta.
Kondisi
demikian, berbeda dengan situasi di Sulawesi Selatan (Sulsel) pasca penetapan
UMP 2018 oleh Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo (SYL) pada awal November
tahun ini. Para elit serikat pekerja/buruh di daerah yang dulunya dikenal
dengan nama Ujung Pandang atau Kota Daeng tersebut, justru lebih memilih untuk
menggugat penetapan UMP Sulsel tahun 2018 melalui Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN) Makassar.
Langkah
para elit serikat pekerja/buruh di Sulsel yang menggunakan instrument hukum formal
dengan mengajukan gugatan ke PTUN Makassar menurut hemat penulis adalah
strategi dan taktik (Stratak) yang keliru karena Staratak demikian sudah dapat
dipastikan merugikan kaum buruh.
Pasalnya,
jika kaum buruh lebih memilih jalur hukum formal melalui PTUN untuk membatalkan
UMP yang telah ditetapkan oleh gubernur, sudah dapat dipastikan, putusan berkekuatan
hukum tetap (inkrach) baru ada setelah masa berlaku UMP tersebut, telah kadaluarsa
atau sudah tidak berlaku lagi karena proses dan mekanisme hukum formal pada
tingkat PTUN berdasarkan hukum acara membutuhkan waktu minimal enam bulan,
belum lagi pada proses banding hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Kendati
demikian, mekanisme hukum formal bukan berarti harus diharamkan bagi kaum buruh,
akan tetapi idealnya instrumen hukum postif (formal) dapat ditempuh sembari
memaksimalkan atau mensinergikannya dengan gerakan aksi massa. Dan tidak boleh
bertumpuh semata pada mekanisme hukum formal, sebab prodak hukum di republik
ini secara umum patut diragukan karena ditengarai adanya persekongkan atau
permufakatan jahat antara penguasa
dengan pengusaha dan aparat penegak hukum.
Upaya
pembatalan atau revisi UMP Sulsel tahun 2018 yang menggunakan instrumen hukum
formal melaui PTUN, sejatinya tidak boleh mengandalkan Startak demikian, tetapi
harus disinergiskan dengan instrumen lainnya, seperti aksi massa mendesak dan memaksa
Gubernur Sulsel, SYL untuk merevisi UMP. Karena cara demikian selain diyakini akan
lebih efektif juga dapat menjadi ruang untuk mempraktekkan teori-teori perjuangan
klas.
Karena
melalui jalur ekstra parlementer (aksi massa) kaum buruh dapat membuktikan
bahwa buruh bersatu tak bisa dikalahkan dan buruh berkuasa rakyat sejatera. Sebab
kata-kata demikian, tidak boleh hanya sebatas slogan atau yel-yel belaka dalam
perjuang kaum buruh untuk mengagitasi massa kaum buruh oleh para elit serikat
pekerja/buruh .
Sehingga
di Sulsel jika SYL tidak mendengarkan aspirasi kaum buruh, maka selain melawan
sikapnya yang demikian dengan terus melancarkan aksi massa dan terus
memaksanya. Kaum buruh juga harus membalas tindakan SYL dengan ramai-ramai
melawan adiknya SYL yakni Iksan Yasin Limpo (IYL) dalam Pilgub 2018 mendatang.
Tegasnya,
lawan dan hancurkan klan SYL, jangan biarkan untuk berkuasa atau menduduki
posisi strategis dimanapun karena terbukti telah berpihak pada kaum pemodal dan
merugikan buruh. Artinya kaum buruh di Sulsel harus bersatu-padu untuk tidak mendukung,
serta harus melawan IYL dalam Pilgub Sulsel mendatang.
Kaum
buruh jangan lelah berjuang karena tidak ada perjuangan yang sia-sia, sebab
kemenangan hanyalah soal waktu !!!
**) Penulis adalah Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Serikat
Rakyat Miskin Demokratik (DPP SRMD) dan Mantan Sekretaris Majelis Nasional Konfederasi Serikat Nasional (Majenas KSN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) tidak bertanggung jawab atas komentar yang anda tulis pada halaman komentar, admin situs ini juga akan menghapus komentar yang tidak objektif dan atau postingan yang berbau SARA.