Jumat, 10 November 2017

Kaum Buruh Jangan Mengandalkan Instrumen Hukum Formal dalam Melawan Politik Upah Murah

William Marthom
Kaum Buruh Harus Bersatupadu Membangun Gerakan Massa Menolak UMP yang Pro Pengusaha dan Kapitalisme

Oleh : William Marthom

SETIAP akhir tahun atau menjelang penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) hampir seluruh daerah di Indonesia kaum buruh/pekerja menggelar aksi demo atau unjukrasa menuntut penetapan upah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi buruh dan keluarganya.

Hal serupa juga marak terjadi setelah UMP dan UMK ditetapkan oleh gubernur dan bupati atau walikota, karena upah yang ditetapkan oleh para kepala daerah itu, mayoritas lebih rendah dari harapan kaum buruh sebab jauh di bawah KHL. Mereka yang menetapkan upah minimum bagi buruh cenderung lebih berpihak pada pengusaha.

Tak jarang pula, rapat-rapat Dewan Pengupahan Provinsi maupun kabupaten/kota berakhir deadlock karena perwakilan kaum buruh selalu menuntut penetapan upah yang dapat memenuhi KHL bagi buruh dan keluarganya, sebaliknya para perwakilan pengusaha justru mengharapkan penetapan upah yang lebih rendah atau murah agar mereka bisa mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara menekan upah buruhnya.

Situasi demikian menjadi pemicu menjamurnya aksi-aksi massa yang digerakkan oleh para aktivis serikat pekerja/buruh pada sejumlah daerah di Indonesia utamanya di kabupaten/kota yang menjadi basis industri, seperti Batam, Semarang, Surabaya, Karawang, Bekasi, Tangerang dan Makassar, tak terkecuali DKI Jakarta yang merupakan Ibukota Negera dan pusat kekuasaan di republik ini.

Fenomena dunia perburuhan pada akhir tahun ini (2017) juga diprediksi bakal memanas terkait dengan penatapan UMP Tahun 2018 yang secara umum ditetapkan oleh para gubernur pada awal November 2017 dengan mengacu pada PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, karena Peraturan Pemerintah (PP) tersebut, menggunakan formulasi kenaikan upah dengan berdasarkan pada inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi.

Khusus di Ibukota Negara tahun ini, diprediksi situasinya akan lebih memanas setelah UMP DKI Jakarta ditetapkan oleh Anies Baswedan dengan mengingkari atau  melanggar KONTRAK POLITIK yang disepakati bersama dengan Koalisi Buruh Jakarta saat paket Anis Baswedan-Sandiaga Uno maju bertarung dalam Pilgub DKI Jakarta pada awal tahun 2017 lalu.

Sebagai konsekwensi dari pegingkaran terhadap Kontrak Politik tersebut, dapat dipastikan Koalisi Buruh Jakarta akan melakukan perlawanan ekstra parlementer atau aksi massa secara besar-besaran di DKI Jakarta dan akan menarik dukungan politiknya kepada Anies-Sandi, termasuk akan mengambil sikap politik beroposisi pada pemerintahan Anies-Sandi di DKI Jakarta.

Kondisi demikian, berbeda dengan situasi di Sulawesi Selatan (Sulsel) pasca penetapan UMP 2018 oleh Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo (SYL) pada awal November tahun ini. Para elit serikat pekerja/buruh di daerah yang dulunya dikenal dengan nama Ujung Pandang atau Kota Daeng tersebut, justru lebih memilih untuk menggugat penetapan UMP Sulsel tahun 2018 melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar.

Langkah para elit serikat pekerja/buruh di Sulsel yang menggunakan instrument hukum formal dengan mengajukan gugatan ke PTUN Makassar menurut hemat penulis adalah strategi dan taktik (Stratak) yang keliru karena Staratak demikian sudah dapat dipastikan merugikan kaum buruh.

Pasalnya, jika kaum buruh lebih memilih jalur hukum formal melalui PTUN untuk membatalkan UMP yang telah ditetapkan oleh gubernur, sudah dapat dipastikan, putusan berkekuatan hukum tetap (inkrach) baru ada setelah masa berlaku UMP tersebut, telah kadaluarsa atau sudah tidak berlaku lagi karena proses dan mekanisme hukum formal pada tingkat PTUN berdasarkan hukum acara membutuhkan waktu minimal enam bulan, belum lagi pada proses banding hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).

Kendati demikian, mekanisme hukum formal bukan berarti harus diharamkan bagi kaum buruh, akan tetapi idealnya instrumen hukum postif (formal) dapat ditempuh sembari memaksimalkan atau mensinergikannya dengan gerakan aksi massa. Dan tidak boleh bertumpuh semata pada mekanisme hukum formal, sebab prodak hukum di republik ini secara umum patut diragukan karena ditengarai adanya persekongkan atau permufakatan jahat antara penguasa  dengan pengusaha dan aparat penegak hukum.

Upaya pembatalan atau revisi UMP Sulsel tahun 2018 yang menggunakan instrumen hukum formal melaui PTUN, sejatinya tidak boleh mengandalkan Startak demikian, tetapi harus disinergiskan dengan instrumen lainnya, seperti aksi massa mendesak dan memaksa Gubernur Sulsel, SYL untuk merevisi UMP. Karena cara demikian selain diyakini akan lebih efektif juga dapat menjadi ruang untuk mempraktekkan teori-teori perjuangan klas.

Karena melalui jalur ekstra parlementer (aksi massa) kaum buruh dapat membuktikan bahwa buruh bersatu tak bisa dikalahkan dan buruh berkuasa rakyat sejatera. Sebab kata-kata demikian, tidak boleh hanya sebatas slogan atau yel-yel belaka dalam perjuang kaum buruh untuk mengagitasi massa kaum buruh oleh para elit serikat pekerja/buruh .

Sehingga di Sulsel jika SYL tidak mendengarkan aspirasi kaum buruh, maka selain melawan sikapnya yang demikian dengan terus melancarkan aksi massa dan terus memaksanya. Kaum buruh juga harus membalas tindakan SYL dengan ramai-ramai melawan adiknya SYL yakni Iksan Yasin Limpo (IYL) dalam Pilgub 2018 mendatang.

Tegasnya, lawan dan hancurkan klan SYL, jangan biarkan untuk berkuasa atau menduduki posisi strategis dimanapun karena terbukti telah berpihak pada kaum pemodal dan merugikan buruh. Artinya kaum buruh di Sulsel harus bersatu-padu untuk tidak mendukung, serta harus melawan IYL dalam Pilgub Sulsel mendatang.

Kaum buruh jangan lelah berjuang karena tidak ada perjuangan yang sia-sia, sebab kemenangan hanyalah soal waktu !!!

**) Penulis adalah Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Serikat Rakyat Miskin Demokratik (DPP SRMD) dan Mantan Sekretaris Majelis Nasional Konfederasi Serikat Nasional (Majenas KSN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) tidak bertanggung jawab atas komentar yang anda tulis pada halaman komentar, admin situs ini juga akan menghapus komentar yang tidak objektif dan atau postingan yang berbau SARA.