SECARA
umum kuliah atau melanjutkan studi pada jenjang Perguruan Tinggi (PT) merupakan
dambaan hampir setiap pelajar yang telah menyelesaikan studinya pada tingkat
SMA atau sederajatnya, baik alumni sekolah swasta maupun negeri. Apa lagi jika
pelajar tersebut, dari kalangan keluarga yang mapan secara ekonomi dan juga
keluarga terpelajar.
Karena tentunya mereka dan
kita tahu bahwa nasib suatu bangsa berada ditangan generasi muda, selaku
pewaris sah peradaban dunia. Generasi muda yang dimaksud adalah orang-orang
yang terpelajar dan tentunya lahir dari lingkungan pendidikan yang berkualitas.
Tapi nyatanya, kini posisi
keberadaan kampus sebagai lembaga pendidikan yang bertujuan untuk mencerdaskan
generasi bangsa, sepertinya sudah mulai bergeser maknanya dan arti, serta peran
dan fungsinya.
Ironisnya, sebagian kampus
sudah mulai berubah dan tak ubahnya menjadi lembaga pencetak para sarjana dan
ijazah, tanpa ada jaminan apakah alumni kampus itu dapat mempertanggungjawabkan
gelar akademik yang disandangnya.
Carut-marut keberadaan
kampus demikian, semakin diperparah oleh para pengelolahnya yang cenderung
menjadikan institusi pendidikan tinggi menjadi lembaga untuk menjarah atau
mencari uang secara legal.
Problem kampus yang
sedemikian rupah semakin rapuh dan kropos, ibarat penyakit akut kian meningkat drastis
karena sebagian akademisinya hanya menjadikan profesi mereka sebagai pekerjaan
legal dan posisi terhormat untuk mendapatkan upah atau gaji.
Yaa berprofesi sebagai
seorang dosen tentu secara otomatis akan mengangkat harkat dan martabat, serta
status sosial para akademisi. Dan sudah pasti peningkatan status sosial demikian,
berbanding lurus secara simetris dengan pendapatan ekonomi atau penghasilan para
dosen.
Kondisi demikian menjadi
ancaman dan berpotensi berdampak buruk terhadap bangsa kita, khususnya bagi
generasi muda penerus bangsa, karena mahasiswa yang sementara mengeyam
pendidikan di dunia kampus, kini sepertinya
diproteksi dan digiring baik secara langsung maupun tidak langsung, semata-mata
untuk mendapatkan atau mengejar nilai yang tinggi (IPK/Indeks Prestasi Kumulatif).
Selain itu, kampus juga
terkesan hanya menjadi tempat para akademisi untuk mendoktrin peserta didiknya
(mahasiswa) agar bersaing mengejar nilai tinggi atau IPK tinggi, agar dapat
menjadi lulusan terbaik sehingga setelah menyelesaikan studinya. Mereka bisa
lebih muda mendapatkan pekerjaan dan upah yang lebih tinggi. Jika demikian,
kampus tak ubahnya menjadi tempat memproduksi robot pencari uang.
Para akademisi mengabaikan
pendidikan bagi mahasiswanya untuk lebih pekah dalam melihat dan merespon
realitas sosial pada lingkungan sekitarnya, apa lagi kondisi bangsa secara
menyeluruh. Bahkan tak jarang kampus dijadikan lembaga untuk mengindoktrinisasi
peserta didiknya menjadi orang yang lebih individualis dan meninggalkan watak
kolektivismenya selaku mahluk sosial.
Hal itu, dapat dilihat dari
realitas semakin sistematisnya kurikulum pendidikan yang begitu padat sehingga
ruang dan waktu bagi para mahasiswa untuk berinteraksi dan berasimilasi dengan
lingkungan sosialnya semakin sempit.
Bahkan tak jarang kampus
yang mulai menekankan kepada peserta didiknya agar tidak melakukan atau
melarang mahasiswanya menggelar aksi unjukrasa atau demonstrasi. Pada hal kita
tahu, bahwa kekuatan mahasiswa dan rakyat adalah kekuatan mahadasyat yang tak terkalahkan
jika disatu-padukan dalam barisan aksi massa saat menuntut atau menolak sesuatu.
Tidak hanya itu, sebagian
birokrasi kampus dan para akademisi yang sudah putus urat malunya atau tidak punya
rasa malu, dengan gamblang dan terang benderang menjadi anti kritik. Mereka
menjadi phobia terhadap kritikan, meski kritik itu disampaikan secara
konstruktif dan sistematis yang disertai dengan tawaran solusi dan saran
konkrit.
Kendati demikian, penulis
menyadari bahwa mahasiswa tentu punya pilihan jurusan atau konsentrasi belajar
yang berbeda-beda, begitu pula dengan para dosen yang sudah pasti berlatar-belakang
disiplin ilmu yang beda-beda pula. Tetapi dari perbedaan itu, ada kesamaan yang
sangat fundamental yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tujuan
pendidikan.
Sehingga, kampus seharusnya dapat
menjamin kualitas mahasiswa dan lulusannya agar dapat bersaing secara sehat
pada lingkungan sosial dan masyarakat, termasuk dalam lapangan pekerjaan atau
ruang pengabdian setelah berhasil menyelesaikan studinya.
Namun realitas yang terjadi,
tidak seutuhnya demikian karena dunia kampus disalah-gunakan oleh sebagian pengelolahnya
dan para akademisi sesuai dengan keinginan dan kemauan berdasarkan seleras
mereka. Sehingga tak jarang dijumpai mahasiswa dan para sarjana tidak dapat mempertanggungjawabkan
nilai atau gelar disiplinilmunya.
Uraian siangkat diatas, akan
saya gambarkan dengan kondisi real atau kenyataan yang dialami alumni dan
kondisi dalam lingkungan kampus saya, yakni Universitas Cokroaminoto Palopo
(UNCP).
Realitasnya banyak lulusan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNCP kita jumpai, bekerja pada perusahaan
finance (pembiayaan) di wilayah Luwu Raya ini, baik di Kabupaten Luwu, Luwu
Utara, Luwu Timur maupun di Kota Palopo. Mereka itu kebanyakan masuk kategori
para alumni yang lulusan terbaik dengan IPK 3,50 keatas.
Kenyataan demikian, dapat menjadi
landasan pertanyaan esensial, mengapa demikian ? Ada apa dengan lulusan kampusku
? Apakah memang alumninya tidak berkualitas ? Ataukah mereka salah pilih kampus
saat kuliah ? Atau karena mereka dididik oleh para akademisi yang tidak
berkualitas ? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang dapat dilontarkan yang
seharusnya mampu dijawab baik oleh mahasiswa, alumni, dan pengelola kampus,
maupun oleh para dosen terkait.
Pertanyaan dan tulisan ini,
dibuat oleh penulis tentu bukan dengan maksud untuk memojokkan apa lagi
mempermalukan mahasiswa, alumni, pengelolah kampus dan para dosen, karena sejatinya
kita adalah bahagian dari itu. Tetapi tulisan ini tentunya diharapkan dapat
menjadi salah satu referensi untuk mengintropeksi kondisi masa lalu, guna
menggapai masa depan yang lebih cemerlang.
Belum lagi menyangkut pemberian
kesempatan yang sama kepada UKK dan UKM di UNCP untuk melakukan kaderisasi yang
berjenjang secara berkesinambungan sesuai dengan kurikulum pendidikan
organisisanya agar lebih maju, sehingga dapat melahirkan kader-kader dan alumni
yang kreatif, inofativ dan solutif. Namun saat ini birokrasi kampus ditengarai
tidak adil dalam memberikan kesempatan yang sama pada UKK maupun UKM di UNCP.
Fenomena perlakuan tidak
adil semacam ini, merupakan sebuah preseden buruk bagi pihak pengelola atau
birokrasi kampus di UNCP.
Contoh kongkritnya adalah
dalam hal larangan pihak birokrasi kampus UNCP kepada seluruh UKK dan UKM supaya
tidak melaksanakan kegiatan kaderisasi diluar kampus terhitung mulai tanggal, 4
September 2017 hingga bulan November tahun ini.
Namun apa yang terjadi pasca
keluarnya Surat Edaran birokrasi kampus tersebut ? Kenyataannya kebijakan
kampus itu, tidak dilaksanakan secara konsisten oleh pihak birokrasi yang
mengeluarkan edaran ini. Apa lagi mahasiswa yang sejak awal menolak kebijakan
itu.
Terbukti, sebelum masa
berlaku edaran tersebut kadaluarsa, ada UKK dan atau UKM UNCP yang tersebar foto
kegiatannya diluar kampus pada sejumlah media sosial. Ironisnya, dalam foto itu
tampak jelas pimpinan kampus UNCP dan beberapa petinggi kampus lainnya mengahadiri
kegiatan yang berlangsung diluar kampus itu.
Ada apa ? Tanyaku bersama
sejumlah mahasiswa UNCP lainnya. Kok birokrasi kampus yang mengeluarkan
larangan itu, namun mereka sendiri yang melanggarnya. Tak heran jika mahasiswa
dan sejumlah petinggi kampus UNCP melanggar larangan tersebut, pasalnya yang
membuat larangan itu, justru melanggarnya.
Gumamku dalam hati, “ah…
mungkin realitas ini yang dimaksud oleh sebuah pepatah kuno” yang menyatakan “guru
kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Penulis saat menyusun kata
demi kata dalam artikel ini, sadar betul bahwa orang yang membaca tulisan ini bisa
jadi marah dan benci, serta suka atau tidak suka, tergantung persepsi dan cara-pandang
mereka dalam menilai makna yang tertuang didalamnya. Tetapi bagi penulis,
tulisan ini memang diharapan untuk dibaca dan dicermati, serta ditanggapi baik
secara tertulis maupun dalam tindakan nyata secara positif.
Penulis juga berharap, agar kritik
yang tertuang dalam tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk diperbincangkan
dalam lingkungan kampus, baik bagi pengelola kampus maupun para akademisi yang
mengabdi di dalam kampus UNCP, apa lagi bagi pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) UNCP yang membawahi seluruh UKK dan UKM yang ada dalam kampus.
Dan penulis, berharap pula supaya
kekeliruan demikian, dapat diperbaiki kedepannya agar tidak terulang kembali.
Karena kita bukan keledai, sebab kata orang bijak, “hanya keledai bodoh yang
jatuh kedalam lubang yang sama”.
Editor
: William Marthom
**) Penulis adalah anggota
Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) Cabang Palopo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) tidak bertanggung jawab atas komentar yang anda tulis pada halaman komentar, admin situs ini juga akan menghapus komentar yang tidak objektif dan atau postingan yang berbau SARA.