Sumartono, S.Pd |
Matinya Demokrasi di
Kampus “Unanda” Kota Palopo?
Oleh : Sumartono, S.Pd (Sekjend DPP SRMD)
MALAM ini,
Sabtu (06/08-2016) pukul 23:30, saya mendapat kabar bahwa terdapat beberapa
mahasiswa di Kampus Universitas Andi Djemma (Unanda) Kota palopo, mendapat
sanksi berupa skorsing dan teguran keras. Bahkan satu orang di antaranya,
mendapat pemecatan/droop out (DO).
Alasan pemberian sanksi
terhadap puluhan mahasiswa tersebut adalah sangat sederhana. Hanya karena
mereka menyampaikan aspirasi di kampus beberapa waktu yang lalu, sekaitan
dengan polemik pemilihan Pengurus Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil.
Mereka (mahasiswa, red)
meminta agar dekan fakultas segera mengeluarkan SK kepengurusan, terkait hasil
Musyawarah Besar (Mubes) yang telah mereka laksanakan. Mereka beranggapan,
bahwa MUBES yang telah mereka lakukan sah secara prosedural.
Nampaknya akibat tidak
adanya respons dari birokrasi Kampus Undanda yang berwenang atas hasil pilihan
demokrasi Pengurus Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil tersebut. Padagilirannya,
pada bulan lalu, Kamis (14 Juli 2016) mereka menggelar aksi demo pada di
satu-satunya kampus universitas swasta, katanya paling populer di Kota
Palopo ini.
Jadi menurut saya, maka
sangat ironi jika memang alasan birokrasi kampus, hingga mengeluarkan surat DO
dan skorsing, hanya karena mereka telah melakukan aksi demonstrasi di dalam
kampus. Bukankah menyampaikan aspirasi atau pendapat di muka umum, merupakan
hak konstitusional setiap warga negara?
Apalagi di dalam kampus
yang notanenya merupakan ruang atau "laboratorium" ilmiah, menjadi
tempat gagasan untuk dieksperimentasikan. Menyampaikan pendapat di muka umum,
khususnya dalam lingkungan kampus, menurut hemat saya adalah sebagai sarana
kritik dan auto kritik dalam rangka pengembangan atau kemajuan kampus.
Selain itu, penyampaian
aspirasi dalam lingkungan kampus, pun juga merupakan sarana latihan mahasiswa
untuk berani menyampaikan pendapat, sebelum mereka mengekspresikan pendapat di
luar kampus.
Jika kita membuka
lembaran sejarah bangsa ini, bukankah itu tak lepas dari keberanian
menyampaikan pendapat di muka umum yang telah dilakukan oleh mahasiswa. Lalu
mengapa kita harus kaku menghadapi mahasiwa yang sedang menyampaikan
aspirasinya?
Kampus sebagai
laboratorium ilmiah, seharusnya berupaya melahirkan generasi bangsa yang
kritis, kreatif serta inovatif. Salah satu caranya, tentu memberikan kebebasan
bereksperimen atau berekspresi terhadap mahasiswa, tentu dengan bimbingan
pendidik (dosen, dekan, rektor, dll).
Jika mahasiswa melakukan
kekeliruan, maka itu tugas pendidik untuk mendidik agar mahasiswa berada di
jalur yang tepat. Mungkin kampus memiliki aturan tersendiri. Namun bukankah
lebih ideal, jika penyelesaian masalah dapat diselesaikan lewat jalur dialogis
atau diselesaikan lewat pendekatan orang tua dan anak, atau pendidik dan
peserta didik?
Apalagi di dalam kampus yang notanenya merupakan ruang atau "laboratorium" ilmiah, menjadi tempat gagasan untuk dieksperimentasikan. Menyampaikan pendapat di muka umum, khususnya dalam lingkungan kampus, menurut hemat saya adalah sebagai sarana kritik dan auto kritik dalam rangka pengembangan atau kemajuan kampus.
Apalagi di dalam kampus yang notanenya merupakan ruang atau "laboratorium" ilmiah, menjadi tempat gagasan untuk dieksperimentasikan. Menyampaikan pendapat di muka umum, khususnya dalam lingkungan kampus, menurut hemat saya adalah sebagai sarana kritik dan auto kritik dalam rangka pengembangan atau kemajuan kampus.
Selain itu, penyampaian
aspirasi dalam lingkungan kampus, pun juga merupakan sarana latihan mahasiswa
untuk berani menyampaikan pendapat, sebelum mereka mengekspresikan pendapat di
luar kampus.
Jika kita membuka lembaran sejarah bangsa ini, bukankah itu tak lepas dari keberanian menyampaikan pendapat di muka umum yang telah dilakukan oleh mahasiswa. Lalu mengapa kita harus kaku menghadapi mahasiwa yang sedang menyampaikan aspirasinya?
Jika kita membuka lembaran sejarah bangsa ini, bukankah itu tak lepas dari keberanian menyampaikan pendapat di muka umum yang telah dilakukan oleh mahasiswa. Lalu mengapa kita harus kaku menghadapi mahasiwa yang sedang menyampaikan aspirasinya?
Kampus sebagai
laboratorium ilmiah, seharusnya berupaya melahirkan generasi bangsa yang
kritis, kreatif serta inovatif. Salah satu caranya, tentu memberikan kebebasan
bereksperimen atau berekspresi terhadap mahasiswa, tentu dengan bimbingan
pendidik (dosen, dekan, rektor, dll).
Jika mahasiswa melakukan
kekeliruan, maka itu tugas pendidik untuk mendidik agar mahasiswa berada di
jalur yang tepat. Mungkin kampus memiliki aturan tersendiri. Namun bukankah
lebih ideal, jika penyelesaian masalah dapat diselesaikan lewat jalur dialogis
atau diselesaikan lewat pendekatan orang tua dan anak, atau pendidik dan
peserta didik?
Kemudian haruskah serta merta mengeluarkan sanksi, berupa pemecatan atau skorsing tanpa ada sama sekali peringatan atau teguran terlebih dahulu. Mungkinkah hal ini, sebagai pertanda matinya demokrasi di Kampus Unanda Kota Palopo tersebut?
Apabila demikian halnya, bahwa betapa mirisnya “Unanda” yang harusnya menjadi salah satu kampus bagi tumbuhnya semangat berdemokrasi, dalam menginspirasi lahirnya calon-calon intelek generasi baru di Tana Luwu ini ke depan.
Sedangkan adanya
pemecatan atau skorsing tanpa teguran terlebih dahulu, menurut saya adalah
sebuah kekeliruan besar, sekaligus memberikan stigma bahwa Kampus Unanda
bukanlah sebuah perguruan tinggi yang berkredibel dalam membangun karakter
mahasiswanua.
Apalagi mereka
(mahasiswa, red) yang diberi sanksi tersebut, tidaklah melakukan pelanggaran
yang terlalu berat-berat amat. Misalnya merusak fasilitas kampus, melakukan
tindakan kekerasan, membawa narkoba dan membunuh dalam kampus serta melakukan
tindak pidana lainnya yang bersifat sangat meresahkan publik.
Kecuali jika pendidik
yakni dosen, dekan, rektor atau pengambil kebijakan lainnya di kampus ini,
dengan justru lebih mengedepankan ego atau ada tendensi lain dalam kasus ini,
ketimbang prinsip pencerdasan peserta didik/mahasiswa. Atau mungkinkah memang
pendidik di kampus tersebut yang memang sangat alergi menghadapi kritik?
Sekedar ilustrasi, ketika
saya dulu masih aktif di kampus, kami sering demo dalam kampus. Pernah membuat
kampus penuh dengan asap pembakaran ban bekas, menyegel kampus, menyegel ruang
rektor. Tapi tidak sampai skording atau DO.
Olehnya dan saat ini,
saya yakin waktu itu, kami tidak kena skorsing atau DO. Hal tersebut, sebab
dosen atau rektor sangat tahu, bahwa kami adalah anak didiknya. Dan kami demo
bukan karena benci terhadap kampus tapi sebaliknya, kami sangat sayang terhadap
kampus.
Terbukti, dengan segala
sikap kritis mahasiswa, birokrasi pun berbenah. Sebagai contoh: Dosen tak
seenaknya lagi kapan mereka ingin mengajar, sebab mahasiswa protes hingga
akhirnya dibuatkan regulasi tentang dosen, fasilitas yang kurang memadaipun di
lengkapi, sebab mahasiswa menuntut hak, hingga akhirnya kampus mengalami
perkembangan.
Sampai saat ini,
kemanapun saya pergi, maka saya akan dengan bangga memperkenalkan asal kampus
ku, dan selalu merindukan para dosen, staf, prodi, dekan, rektor dan semua yang
berhubungan dengan kampus yang pernah membuat saya berproses.
Demikian halnya, maka
saya pun juga sangat yakin, bahwa mereka (mahasiswa, red) yang saat ini
mendapat sanksi di Kampus Unanda, akan juga demikian. Terlebih setiap mahasiswa
yang ingin kuliah di Kampus Unanda, tak hanya sebatas menuntut ilmu untuk
meraih gelar sarjana.
Akan tetapi kuliah untuk
juga membentuk karakter, melalui wadah-wadah demokrasi yang tersedia di kampus
ini, demi menamkan dalam jiwanya tentang mental-mental baja sebagai calon-calon
pemimpin masa depan. Maka inilah yang dimaksud, bahwa kampus merupakan tempat
untuk memanusiakan manusia.
Namun jika sebuah kampus
perguruan tinggi terlebih namanya universitas, sampai mematikan demokrasi, maka
tentunya masih sangat tidak layak disebut sebagai kampus sebuah perguruan
tinggi.
Untuk itu, maka jangan
pernah matikan demokrasi di kampus, sebab demokrasi kampus adalah sebauh simbol
bagi pergerakan demokrasi, untuk melahirkan kaum intelektual berparadigma
tentang agent of change bagi masa depan sebuah peradaban dalam berbangsa
bernegara. (*****)
**)
Penulis adalah Aktivis Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) tidak bertanggung jawab atas komentar yang anda tulis pada halaman komentar, admin situs ini juga akan menghapus komentar yang tidak objektif dan atau postingan yang berbau SARA.