Minggu, 28 Agustus 2016

Kampus Merupakan Tempat untuk Memanusiakan Manusia, Lalu Bagaimana di Universitas Andi Djemma (Unanda) Palopo ?

Sumartono, S.Pd
Matinya Demokrasi di Kampus  “Unanda” Kota Palopo?

Oleh : Sumartono, S.Pd (Sekjend DPP SRMD)


MALAM ini, Sabtu (06/08-2016) pukul 23:30, saya mendapat kabar bahwa terdapat beberapa mahasiswa di Kampus Universitas Andi Djemma (Unanda) Kota palopo, mendapat sanksi berupa skorsing dan teguran keras. Bahkan satu orang di antaranya, mendapat pemecatan/droop out (DO).

Alasan pemberian sanksi terhadap puluhan mahasiswa tersebut adalah sangat sederhana. Hanya karena mereka menyampaikan aspirasi di kampus beberapa waktu yang lalu, sekaitan dengan polemik pemilihan Pengurus Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil.

Mereka (mahasiswa, red) meminta agar dekan fakultas segera mengeluarkan SK kepengurusan, terkait hasil Musyawarah Besar (Mubes) yang telah mereka laksanakan. Mereka beranggapan, bahwa MUBES yang telah mereka lakukan sah secara prosedural.

Nampaknya akibat tidak adanya respons dari birokrasi Kampus Undanda yang berwenang atas hasil pilihan demokrasi Pengurus Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil tersebut. Padagilirannya, pada bulan lalu, Kamis (14 Juli 2016) mereka menggelar aksi demo pada di satu-satunya  kampus universitas swasta, katanya paling populer di Kota Palopo ini.

Jadi menurut saya, maka sangat ironi jika memang alasan birokrasi kampus, hingga mengeluarkan surat DO dan skorsing, hanya karena mereka telah melakukan aksi demonstrasi di dalam kampus. Bukankah menyampaikan aspirasi atau pendapat di muka umum, merupakan hak konstitusional setiap warga negara?

Apalagi di dalam kampus yang notanenya merupakan ruang atau "laboratorium" ilmiah, menjadi tempat gagasan untuk dieksperimentasikan. Menyampaikan pendapat di muka umum, khususnya dalam lingkungan kampus, menurut hemat saya adalah sebagai sarana kritik dan auto kritik dalam rangka pengembangan atau kemajuan kampus.

Selain itu, penyampaian aspirasi dalam lingkungan kampus, pun juga merupakan sarana latihan mahasiswa untuk berani menyampaikan pendapat, sebelum mereka mengekspresikan pendapat di luar kampus.

Jika kita membuka lembaran sejarah bangsa ini, bukankah itu tak lepas dari keberanian menyampaikan pendapat di muka umum yang telah dilakukan oleh mahasiswa. Lalu mengapa kita harus kaku menghadapi mahasiwa yang sedang menyampaikan aspirasinya?

Kampus sebagai laboratorium ilmiah, seharusnya berupaya melahirkan generasi bangsa yang kritis, kreatif serta inovatif. Salah satu caranya, tentu memberikan kebebasan bereksperimen atau berekspresi terhadap mahasiswa, tentu dengan bimbingan pendidik (dosen, dekan, rektor, dll).

Jika mahasiswa melakukan kekeliruan, maka itu tugas pendidik untuk mendidik agar mahasiswa berada di jalur yang tepat. Mungkin kampus memiliki aturan tersendiri. Namun bukankah lebih ideal, jika penyelesaian masalah dapat diselesaikan lewat jalur dialogis atau diselesaikan lewat pendekatan orang tua dan anak, atau pendidik dan peserta didik?

Apalagi di dalam kampus yang notanenya merupakan ruang atau "laboratorium" ilmiah, menjadi tempat gagasan untuk dieksperimentasikan. Menyampaikan pendapat di muka umum, khususnya dalam lingkungan kampus, menurut hemat saya adalah sebagai sarana kritik dan auto kritik dalam rangka pengembangan atau kemajuan kampus.

Selain itu, penyampaian aspirasi dalam lingkungan kampus, pun juga merupakan sarana latihan mahasiswa untuk berani menyampaikan pendapat, sebelum mereka mengekspresikan pendapat di luar kampus.

Jika kita membuka lembaran sejarah bangsa ini, bukankah itu tak lepas dari keberanian menyampaikan pendapat di muka umum yang telah dilakukan oleh mahasiswa. Lalu mengapa kita harus kaku menghadapi mahasiwa yang sedang menyampaikan aspirasinya?

Kampus sebagai laboratorium ilmiah, seharusnya berupaya melahirkan generasi bangsa yang kritis, kreatif serta inovatif. Salah satu caranya, tentu memberikan kebebasan bereksperimen atau berekspresi terhadap mahasiswa, tentu dengan bimbingan pendidik (dosen, dekan, rektor, dll).

Jika mahasiswa melakukan kekeliruan, maka itu tugas pendidik untuk mendidik agar mahasiswa berada di jalur yang tepat. Mungkin kampus memiliki aturan tersendiri. Namun bukankah lebih ideal, jika penyelesaian masalah dapat diselesaikan lewat jalur dialogis atau diselesaikan lewat pendekatan orang tua dan anak, atau pendidik dan peserta didik?

Kemudian haruskah serta merta mengeluarkan sanksi, berupa pemecatan atau skorsing tanpa ada sama sekali peringatan atau teguran terlebih dahulu. Mungkinkah hal ini, sebagai pertanda matinya demokrasi di Kampus Unanda Kota Palopo tersebut?

Apabila demikian halnya, bahwa betapa mirisnya “Unanda” yang harusnya menjadi salah satu kampus bagi tumbuhnya semangat berdemokrasi, dalam menginspirasi lahirnya calon-calon intelek generasi baru di Tana Luwu ini ke depan.

Sedangkan adanya pemecatan atau skorsing tanpa teguran terlebih dahulu, menurut saya adalah sebuah kekeliruan besar, sekaligus memberikan stigma bahwa Kampus Unanda bukanlah sebuah perguruan tinggi yang berkredibel dalam membangun karakter mahasiswanua.

Apalagi mereka (mahasiswa, red) yang diberi sanksi tersebut, tidaklah melakukan pelanggaran yang terlalu berat-berat amat. Misalnya merusak fasilitas kampus, melakukan tindakan kekerasan, membawa narkoba dan membunuh dalam kampus serta melakukan tindak pidana lainnya yang bersifat sangat meresahkan publik.

Kecuali jika pendidik yakni dosen, dekan, rektor atau pengambil kebijakan lainnya di kampus ini, dengan justru lebih mengedepankan ego atau ada tendensi lain dalam kasus ini, ketimbang prinsip pencerdasan peserta didik/mahasiswa. Atau mungkinkah memang pendidik di kampus tersebut yang memang sangat alergi menghadapi kritik?

Sekedar ilustrasi, ketika saya dulu masih aktif di kampus, kami sering demo dalam kampus. Pernah membuat kampus penuh dengan asap pembakaran ban bekas, menyegel kampus, menyegel ruang rektor. Tapi tidak sampai skording atau DO.

Olehnya dan saat ini, saya yakin waktu itu, kami tidak kena skorsing atau DO. Hal tersebut, sebab dosen atau rektor sangat tahu, bahwa kami adalah anak didiknya. Dan kami demo bukan karena benci terhadap kampus tapi sebaliknya, kami sangat sayang terhadap kampus.

Terbukti, dengan segala sikap kritis mahasiswa, birokrasi pun berbenah. Sebagai contoh: Dosen tak seenaknya lagi kapan mereka ingin mengajar, sebab mahasiswa protes hingga akhirnya dibuatkan regulasi tentang dosen, fasilitas yang kurang memadaipun di lengkapi, sebab mahasiswa menuntut hak, hingga akhirnya kampus mengalami perkembangan.

Sampai saat ini, kemanapun saya pergi, maka saya akan dengan bangga memperkenalkan asal kampus ku, dan selalu merindukan para dosen, staf, prodi, dekan, rektor dan semua yang berhubungan dengan kampus yang pernah membuat saya berproses.

Demikian halnya, maka saya pun juga sangat yakin, bahwa mereka (mahasiswa, red) yang saat ini mendapat sanksi di Kampus Unanda, akan juga demikian. Terlebih setiap mahasiswa yang ingin kuliah di Kampus Unanda, tak hanya sebatas menuntut ilmu untuk meraih gelar sarjana.

Akan tetapi kuliah untuk juga membentuk karakter, melalui wadah-wadah demokrasi yang tersedia di kampus ini, demi menamkan dalam jiwanya tentang mental-mental baja sebagai calon-calon pemimpin masa depan. Maka inilah yang dimaksud, bahwa kampus merupakan tempat untuk memanusiakan manusia.

Namun jika sebuah kampus perguruan tinggi terlebih namanya universitas, sampai mematikan demokrasi, maka tentunya masih sangat tidak layak disebut sebagai kampus sebuah perguruan tinggi.

Untuk itu, maka jangan pernah matikan demokrasi di kampus, sebab demokrasi kampus adalah sebauh simbol bagi pergerakan demokrasi, untuk melahirkan kaum intelektual berparadigma tentang agent of change bagi masa depan sebuah peradaban dalam berbangsa bernegara. (*****)

**) Penulis adalah Aktivis Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) tidak bertanggung jawab atas komentar yang anda tulis pada halaman komentar, admin situs ini juga akan menghapus komentar yang tidak objektif dan atau postingan yang berbau SARA.