UU
Pendidikan Tinggi dan Hak Atas Pendidikan di Indonesia
UU Pendidikan Tinggi (selanjutnya
disebut UU PT) yang disahkan pada 13 Juli 2012, terus menuai kritik. Dari sisi
pekerja universitas, UU PT dianggap melegalkan praktek-praktek multi-sistem
kepegawaian yang merugikan pekerja dan sudah berlangsung secara ilegal sejak
zaman BHMN. Seharusnya, kalau sebuah universitas negeri sudah menjadi Badan
Hukum Milik Negara (BHMN), maka semua pegawai juga dirubah statusnya menjadi
pegawai universitas yang tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Pegawai yang sudah
menjadi PNS dialihkan menjadi pegawai universitas, sementara pegawai non-PNS
diangkat menjadi pegawai universitas. Namun, di kenyataan, hal ini tidak terjadi.
Di UI, misalnya, UI sudah menjadi
BHMN sejak tahun 2000. Universitas negeri yang dijadikan BHMN diberi waktu 10
tahun untuk transisi, termasuk untuk mengalihkan status para pegawainya. Tapi
setelah pada 2010, sebagian besar universitas yang menjadi BHMN pada 2000,
masih mengangkat pegawainya jadi PNS. UI berusaha konsisten dengan tidak
mengangkat lagi PNS sejak tahun 2000, tapi UI hanya sekali mengangkat pegawai
non-PNS jadi pegawai universitas di tahun 2006. Itu pun hanya untuk dosen.
Mengenai pengalihan PNS menjadi pegawai universitas, UI tidak pernah
melakukannya dan sepertinya memang tidak memiliki program itu.
Akibatnya, ada tiga lapisan pegawai
di UI. Ada 4000-an pekerja berstatus PNS, sementara 7000-an berstatus non-PNS.
Dari 7000-an yang berstatus non-PNS, hanya 300 orang saja yang berstatus
sebagai pegawai universitas. “Sisanya, pekerja tanpa status,” pungkas Andri
Gunawan Wibisana, Ketua Paguyuban Pekerja Universitas Indonesia (PPUI), yang
menjadi salah satu narasumber dalam Diskusi Pejaten bertajuk “UU Pendidikan
Tinggi & Perlindungan Hak Atas Pendidikan di Indonesia.” Andri juga
menyebutkan bahwa praktek ilegal yang selama ini terjadi adalah tanda bahwa
tidak ada satu pun BHMN yang berhasil. “Mereka hanya bisa hidup sampai
setidaknya 2010 dengan melanggar peraturan yang menjadi dasar operasional
mereka,” tandasnya.
Apa yang dilakukan UU PT sekarang
ini adalah melegalkan praktek multi-sistem kepegawaian seperti di atas. Dengan
UU PT, universitas bisa mengangkat pegawainya sendiri yang tunduk pada UU
Ketenagakerjaan, tapi pemerintah juga bisa menempatkan PNS di universitas
negeri, yang tunduk pada UU Kepegawaian. Masalahnya dengan multi-sistem
kepegawaian ini adalah bahwa sistem ini rawan diskriminasi. Contohnya, salah
satu syarat dosen tetap non-PNS untuk menjadi profesor adalah sudah 10 tahun
bekerja, tetapi syarat ini tidak berlaku bagi yang sudah berstatus PNS.
Problem kedua adalah tidak jelas
siapa yang bertanggungjawab dalam soal kepegawaian, apakah universitas atau
negara. ”Ini bahaya, yang jelas-jelas ada kewajiban saja, tidak dilaksanakan,
apalagi kalau tidak dijelaskan siapa yang memiliki kewajiban itu,” ungkap
Andri. Begitu pula, dengan UU PT, nasib pekerja UI yang bukan PNS, tapi bukan
pula pegawai universitas, akan tetap tidak jelas. Andri menyatakan, ”kita yang
non-status akan terus jadi non-status.”
Problem lain dalam UU PT terkait
dengan ketenagakerjaan adalah bahwa pasal-pasal ketenagakerjaan (pasal 69-71)
dalam UU PT tidak merujuk ke UU Ketenagakerjaan, tapi ke UU Sisdiknas. Artinya,
tidak ada UU yang mengatur penyelesaian masalah ketenagakerjaan di universitas.
Kalau ada perselisihan, mekanismenya akan diserahkan kepada mekanisme
universitas. Karenanya, universitas memiliki hak prerogatif untuk mengatur atau
tidak mengatur konflik ketenagakerjaan. ”Ini adalah salah satu ciri khas dari labor
market flexibility, tidak perlu UU untuk mengatur dispute.
Implikasinya apa? Kerentanan pekerja universitas terhadap hak-hak normatifnya,”
tandas Y. Wasi Gede Puraka, Sekretaris PPUI, yang juga hadir dalam diskusi.
Selain dampak ke pekerja
universitas, UU PT juga memiliki dampak ke mahasiswa. Pasalnya, biaya kuliah
bertambah mahal. Sejak BHMN diberlakukan, biaya kuliah memang melonjak naik.
Seleksi masuk universitas negeri pun tidak satu pintu lagi, tetapi ada
jalur-jalur mandiri lain yang menyebabkan mahasiswa dengan latar belakang kelas
yang lebih tinggi memiliki kesempatan yang jauh lebih luas. Di UI, misalnya,
ada jalur SIMAK dengan pilihan 8 jurusan dan UMB dengan pilihan 2 jurusan. Tiap
menambah jurusan, uang masuknya akan lebih tinggi. ”Yang mendapat akses ke
universitas semakin homogen, semakin eksklusif siapa yang bisa mendapat akses
ke universitas,” ungkap Robie Kholilurrahman dari Badan Eksekutif Mahasiswa
Universitas Indonesia (BEM UI). Secara atmosfir intelektual, pola pikir
mahasiswa juga mulai bergeser ke arah pragmatis, hanya berpikir dapat ijazah
dan langsung bekerja.
Menurut narasumber lain dalam
diskusi, Yura Pratama, UU PT ini sejatinya adalah privatisasi dan liberalisasi
pendidikan. Ketika status badan hukum ditempelkan ke universitas negeri, maka
badan hukum itu akan diatur oleh hukum privat, bukan hukum publik. Dalam badan
hukum, negara seperti pemegang saham, tidak bisa ikut campur dalam pengelolaan
kampus. Jika di kampus ada persoalan yang melibatkan rektor, misalnya, negara
memang bisa memberhentikan rektor, tapi tidak bisa menghukum rektor. Kalau di
UU Perseroan Terbatas, jika seorang direktur tidak berhasil membuktikan bahwa
kerugian perusahaan bukan kesalahan dia, dia bertanggungjawab secara pribadi.
Tetapi, di UU PT hal itu tidak diatur. “Ketika kampus menetapkan uang semester
6 juta, siapa yang mengawasi dia? Negara tidak bisa ikut campur dalam
pengelolaan yang seperti itu,” tandas Yura.
Kemudian, problem lainnya, di UU PT,
kebebasan akademik hanya berlaku untuk dosen dan profesor, tapi mahasiswa tidak
diikutkan sebagai yang memiliki kebebasan mimbar akademik. Padahal, mahasiswa
termasuk dalam civitas akademika sesuai dengan definisi UU PT. “UU Dikti punya
tendensi fasistik yang sangat kuat,” ungkap Y. Wasi Gede Puraka. Selain itu,
ada juga persoalan hukum lain terkait UU PT. Amanat UUD pasal 31, pendidikan
harus berada dalam satu sistem yang terintegrasi. Dengan adanya UU PT, berarti
ada dua UU terkait persoalan pendidikan, yaitu UU Sisdiknas dan UU PT. Padahal,
ada amanat dari UU Sisdiknas agar pendidikan tinggi diatur melalui Peraturan
Pemerintah. Tapi, yang dikeluarkan malah UU PT.
Lalu, ada apa sebenarnya di balik UU
PT ini? Ada indikasi bahwa UU PT ini didorong oleh Bank Dunia (World Bank).
“Ada amanat dari World Bank, setelah BHP dibatalkan agar UU serupa
dibuat secepatnya,” tandas Yura. Sejak 2006, Bank Dunia memang sudah mengatakan
studi tentang arah pendidikan tinggi di Indonesia sesuai dengan versi mereka.
Kemudian, pada 17 April 2010, Bank Dunia mengeluarkan lagi sebuah dokumen
berjudul Indonesia: Financing Higher Education. Dalam dokumen itu
terlihat jelas bagaimana pendidikan tinggi dibiayai. Masalah pendidikan di
Indonesia dilihat sebagai masalah publik yang kurang mengeluarkan uang untuk
pendidikan tinggi. Jadi, masyarakat didorong untuk mengeluarkan lebih banyak
uang untuk pendidikan tinggi yang dianggap sebagai barang tersier. Proses
dokumen Bank Dunia ini berjalan beriringan dengan dimulainya proses sampai menjadi
UU PT sekarang ini.
Y. Wasi Gede Puraka memprediksi
bahwa ke depannya, kalau pendidikan tinggi dijadikan ranah bisnis, maka
universitas-universitas swasta kecil akan sulit bersaing dan dipaksa untuk merger
di antara mereka. Lalu, untuk universitas-universitas besar, negara memang
tetap memberikan dana, tapi dana itu sejatinya adalah lump sum, cukup
tidak cukup, negara hanya akan memberikan dana dalam jumlah itu. Akibatnya,
akan terjadi kekurangan anggaran di tingkat operasional dan kekurangan ini akan
diisi oleh kredit dari mahasiswa. Saat ini, berdasarkan laporan Bank Indonesia
(BI) bulan Maret 2012 tentang konsumsi kredit, pendidikan termasuk kredit
konsumsi yang menempati ranking atas. ”Pendidikan tinggi harus
diprivatisasi dalam kerangka menggenjot kredit konsumsi,” ungkap Gede.
Di Indonesia sendiri, tidak semua
kalangan akademik menolak privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Di UI,
misalnya, ada kalangan yang justru mendorong terjadinya liberalisasi
pendidikan, seperti Emil Salim. ”Ada pasal yang kita sebut pasal Emil Salim,”
tandas Andri. Pasalnya, Emil Salim sebagai Wantimpres pernah mengirim surat ke
Presiden agar draft RUU PT (waktu itu masih RUU) dirubah pasalnya, sehingga
universitas-universitas negeri yang sudah berstatus BHMN langsung ditetapkan
menjadi perguruan tinggi badan hukum. Sebelumnya, universitas-universitas
negeri diberi pilihan untuk menjadi PTN Satker atau PTN dengan pola keuangan
BLU atau Badan Hukum, yang disebut otonom penuh. Permintaan Emil Salim ini
kemudian diakomodir. ”Ada di pasal peralihan di UU PT ini,” pungkas Andri.
Di kalangan mahasiswa, juga terjadi
hal yang sama. Tidak semua mahasiswa menolak privatisasi pendidikan atau UU PT.
Ada juga mahasiswa yang menjadi ”tukang kampanyenya” UU PT. Di UI, kalangan
yang pro-privatisasi pendidikan membuat gerakan Save UI yang kemudian menjadi
Gerakan UI Bersih. Mereka pun berusaha merekrut mahasiswa. Namun, BEM seluruh
fakultas sudah tidak mau lagi bergabung dengan gerakan itu. ”Kita melihat
tendensi mereka untuk menjadikan UI ini otonom,” tandas Robie. MZH
(Sumber: www.prp-indonesia.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) tidak bertanggung jawab atas komentar yang anda tulis pada halaman komentar, admin situs ini juga akan menghapus komentar yang tidak objektif dan atau postingan yang berbau SARA.