Kamis, 16 Agustus 2012

UU Pendidikan Tinggi dan Hak Atas Pendidikan di Indonesia


UU Pendidikan Tinggi dan Hak Atas Pendidikan di Indonesia

UU Pendidikan Tinggi (selanjutnya disebut UU PT) yang disahkan pada 13 Juli 2012, terus menuai kritik. Dari sisi pekerja universitas, UU PT dianggap melegalkan praktek-praktek multi-sistem kepegawaian yang merugikan pekerja dan sudah berlangsung secara ilegal sejak zaman BHMN. Seharusnya, kalau sebuah universitas negeri sudah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), maka semua pegawai juga dirubah statusnya menjadi pegawai universitas yang tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Pegawai yang sudah menjadi PNS dialihkan menjadi pegawai universitas, sementara pegawai non-PNS diangkat menjadi pegawai universitas. Namun, di kenyataan, hal ini tidak terjadi.

Di UI, misalnya, UI sudah menjadi BHMN sejak tahun 2000. Universitas negeri yang dijadikan BHMN diberi waktu 10 tahun untuk transisi, termasuk untuk mengalihkan status para pegawainya. Tapi setelah pada 2010, sebagian besar universitas yang menjadi BHMN pada 2000, masih mengangkat pegawainya jadi PNS. UI berusaha konsisten dengan tidak mengangkat lagi PNS sejak tahun 2000, tapi UI hanya sekali mengangkat pegawai non-PNS jadi pegawai universitas di tahun 2006. Itu pun hanya untuk dosen. Mengenai pengalihan PNS menjadi pegawai universitas, UI tidak pernah melakukannya dan sepertinya memang tidak memiliki program itu.

Akibatnya, ada tiga lapisan pegawai di UI. Ada 4000-an pekerja berstatus PNS, sementara 7000-an berstatus non-PNS. Dari 7000-an yang berstatus non-PNS, hanya 300 orang saja yang berstatus sebagai pegawai universitas. “Sisanya, pekerja tanpa status,” pungkas Andri Gunawan Wibisana, Ketua Paguyuban Pekerja Universitas Indonesia (PPUI), yang menjadi salah satu narasumber dalam Diskusi Pejaten bertajuk “UU Pendidikan Tinggi & Perlindungan Hak Atas Pendidikan di Indonesia.” Andri juga menyebutkan bahwa praktek ilegal yang selama ini terjadi adalah tanda bahwa tidak ada satu pun BHMN yang berhasil. “Mereka hanya bisa hidup sampai setidaknya 2010 dengan melanggar peraturan yang menjadi dasar operasional mereka,” tandasnya.

Apa yang dilakukan UU PT sekarang ini adalah melegalkan praktek multi-sistem kepegawaian seperti di atas. Dengan UU PT, universitas bisa mengangkat pegawainya sendiri yang tunduk pada UU Ketenagakerjaan, tapi pemerintah juga bisa menempatkan PNS di universitas negeri, yang tunduk pada UU Kepegawaian. Masalahnya dengan multi-sistem kepegawaian ini adalah bahwa sistem ini rawan diskriminasi. Contohnya, salah satu syarat dosen tetap non-PNS untuk menjadi profesor adalah sudah 10 tahun bekerja, tetapi syarat ini tidak berlaku bagi yang sudah berstatus PNS.

Problem kedua adalah tidak jelas siapa yang bertanggungjawab dalam soal kepegawaian, apakah universitas atau negara. ”Ini bahaya, yang jelas-jelas ada kewajiban saja, tidak dilaksanakan, apalagi kalau tidak dijelaskan siapa yang memiliki kewajiban itu,” ungkap Andri. Begitu pula, dengan UU PT, nasib pekerja UI yang bukan PNS, tapi bukan pula pegawai universitas, akan tetap tidak jelas. Andri menyatakan, ”kita yang non-status akan terus jadi non-status.”

Problem lain dalam UU PT terkait dengan ketenagakerjaan adalah bahwa pasal-pasal ketenagakerjaan (pasal 69-71) dalam UU PT tidak merujuk ke UU Ketenagakerjaan, tapi ke UU Sisdiknas. Artinya, tidak ada UU yang mengatur penyelesaian masalah ketenagakerjaan di universitas. Kalau ada perselisihan, mekanismenya akan diserahkan kepada mekanisme universitas. Karenanya, universitas memiliki hak prerogatif untuk mengatur atau tidak mengatur konflik ketenagakerjaan. ”Ini adalah salah satu ciri khas dari labor market flexibility, tidak perlu UU untuk mengatur dispute. Implikasinya apa? Kerentanan pekerja universitas terhadap hak-hak normatifnya,” tandas Y. Wasi Gede Puraka, Sekretaris PPUI, yang juga hadir dalam diskusi.

Selain dampak ke pekerja universitas, UU PT juga memiliki dampak ke mahasiswa. Pasalnya, biaya kuliah bertambah mahal. Sejak BHMN diberlakukan, biaya kuliah memang melonjak naik. Seleksi masuk universitas negeri pun tidak satu pintu lagi, tetapi ada jalur-jalur mandiri lain yang menyebabkan mahasiswa dengan latar belakang kelas yang lebih tinggi memiliki kesempatan yang jauh lebih luas. Di UI, misalnya, ada jalur SIMAK dengan pilihan 8 jurusan dan UMB dengan pilihan 2 jurusan. Tiap menambah jurusan, uang masuknya akan lebih tinggi. ”Yang mendapat akses ke universitas semakin homogen, semakin eksklusif siapa yang bisa mendapat akses ke universitas,” ungkap Robie Kholilurrahman dari Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI). Secara atmosfir intelektual, pola pikir mahasiswa juga mulai bergeser ke arah pragmatis, hanya berpikir dapat ijazah dan langsung bekerja.

Menurut narasumber lain dalam diskusi, Yura Pratama, UU PT ini sejatinya adalah privatisasi dan liberalisasi pendidikan. Ketika status badan hukum ditempelkan ke universitas negeri, maka badan hukum itu akan diatur oleh hukum privat, bukan hukum publik. Dalam badan hukum, negara seperti pemegang saham, tidak bisa ikut campur dalam pengelolaan kampus. Jika di kampus ada persoalan yang melibatkan rektor, misalnya, negara memang bisa memberhentikan rektor, tapi tidak bisa menghukum rektor. Kalau di UU Perseroan Terbatas, jika seorang direktur tidak berhasil membuktikan bahwa kerugian perusahaan bukan kesalahan dia, dia bertanggungjawab secara pribadi. Tetapi, di UU PT hal itu tidak diatur. “Ketika kampus menetapkan uang semester 6 juta, siapa yang mengawasi dia? Negara tidak bisa ikut campur dalam pengelolaan yang seperti itu,” tandas Yura.
Kemudian, problem lainnya, di UU PT, kebebasan akademik hanya berlaku untuk dosen dan profesor, tapi mahasiswa tidak diikutkan sebagai yang memiliki kebebasan mimbar akademik. Padahal, mahasiswa termasuk dalam civitas akademika sesuai dengan definisi UU PT. “UU Dikti punya tendensi fasistik yang sangat kuat,” ungkap Y. Wasi Gede Puraka. Selain itu, ada juga persoalan hukum lain terkait UU PT. Amanat UUD pasal 31, pendidikan harus berada dalam satu sistem yang terintegrasi. Dengan adanya UU PT, berarti ada dua UU terkait persoalan pendidikan, yaitu UU Sisdiknas dan UU PT. Padahal, ada amanat dari UU Sisdiknas agar pendidikan tinggi diatur melalui Peraturan Pemerintah. Tapi, yang dikeluarkan malah UU PT.

Lalu, ada apa sebenarnya di balik UU PT ini? Ada indikasi bahwa UU PT ini didorong oleh Bank Dunia (World Bank). “Ada amanat dari World Bank, setelah BHP dibatalkan agar UU serupa dibuat secepatnya,” tandas Yura. Sejak 2006, Bank Dunia memang sudah mengatakan studi tentang arah pendidikan tinggi di Indonesia sesuai dengan versi mereka. Kemudian, pada 17 April 2010, Bank Dunia mengeluarkan lagi sebuah dokumen berjudul Indonesia: Financing Higher Education. Dalam dokumen itu terlihat jelas bagaimana pendidikan tinggi dibiayai. Masalah pendidikan di Indonesia dilihat sebagai masalah publik yang kurang mengeluarkan uang untuk pendidikan tinggi. Jadi, masyarakat didorong untuk mengeluarkan lebih banyak uang untuk pendidikan tinggi yang dianggap sebagai barang tersier. Proses dokumen Bank Dunia ini berjalan beriringan dengan dimulainya proses sampai menjadi UU PT sekarang ini.

Y. Wasi Gede Puraka memprediksi bahwa ke depannya, kalau pendidikan tinggi dijadikan ranah bisnis, maka universitas-universitas swasta kecil akan sulit bersaing dan dipaksa untuk merger di antara mereka. Lalu, untuk universitas-universitas besar, negara memang tetap memberikan dana, tapi dana itu sejatinya adalah lump sum, cukup tidak cukup, negara hanya akan memberikan dana dalam jumlah itu. Akibatnya, akan terjadi kekurangan anggaran di tingkat operasional dan kekurangan ini akan diisi oleh kredit dari mahasiswa. Saat ini, berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI) bulan Maret 2012 tentang konsumsi kredit, pendidikan termasuk kredit konsumsi yang menempati ranking atas. ”Pendidikan tinggi harus diprivatisasi dalam kerangka menggenjot kredit konsumsi,” ungkap Gede.
Di Indonesia sendiri, tidak semua kalangan akademik menolak privatisasi dan komersialisasi pendidikan. Di UI, misalnya, ada kalangan yang justru mendorong terjadinya liberalisasi pendidikan, seperti Emil Salim. ”Ada pasal yang kita sebut pasal Emil Salim,” tandas Andri. Pasalnya, Emil Salim sebagai Wantimpres pernah mengirim surat ke Presiden agar draft RUU PT (waktu itu masih RUU) dirubah pasalnya, sehingga universitas-universitas negeri yang sudah berstatus BHMN langsung ditetapkan menjadi perguruan tinggi badan hukum. Sebelumnya, universitas-universitas negeri diberi pilihan untuk menjadi PTN Satker atau PTN dengan pola keuangan BLU atau Badan Hukum, yang disebut otonom penuh. Permintaan Emil Salim ini kemudian diakomodir. ”Ada di pasal peralihan di UU PT ini,” pungkas Andri.

Di kalangan mahasiswa, juga terjadi hal yang sama. Tidak semua mahasiswa menolak privatisasi pendidikan atau UU PT. Ada juga mahasiswa yang menjadi ”tukang kampanyenya” UU PT. Di UI, kalangan yang pro-privatisasi pendidikan membuat gerakan Save UI yang kemudian menjadi Gerakan UI Bersih. Mereka pun berusaha merekrut mahasiswa. Namun, BEM seluruh fakultas sudah tidak mau lagi bergabung dengan gerakan itu. ”Kita melihat tendensi mereka untuk menjadikan UI ini otonom,” tandas Robie. MZH
(Sumber: www.prp-indonesia.org)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) tidak bertanggung jawab atas komentar yang anda tulis pada halaman komentar, admin situs ini juga akan menghapus komentar yang tidak objektif dan atau postingan yang berbau SARA.