Rabu, 13 Februari 2013

Satu Tahun Mogok Tak Kenal Lelah: Jejak Perlawanan Buruh PT Wakatobi Resort


William Marthom
Oleh: William Marthom
Kord. Seknas FSPBI
Kamis, 7 Februari 2013, tak terasa genap sudah setahun perjuangan kawan-kawan Serikat Perjuangan Buruh Indonesia PT Wakatobi Resort (SPBI PT WR), yang menggelar aksi mogok kerja untuk menuntut PT Wakatobi Resort (PT WR) menjalankan hak- hak normatif buruhnya yang selama ini tidak dipenuhi oleh perusahaan. Hak-hak normatif buruh PT WR yang tidak diberikan semenjak PT WR beroperasi dari tahun 1996 hingga saat ini diantaranya adalah Jamsostek, upah lembur, dan cuti haid.


Hak normatif buruh adalah hak dasar buruh yang wajib dipenuhi oleh perusahaan (pengusaha) sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek.

Kendati demikian, PT WR yang bergerak di sektor parawisata (diving) milik Mr. Lorenz Peter Mader asal negara Swiss itu dengan terang-terangan melawan hukum (UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 3 Tahun 1992) yang mewajibkannya untuk memenuhi hak normatif buruhnya. Sementara itu, pemerintah yang bertanggungjawab dalam bidang ketenagakerjaan, dalam hal ini Dinas Sosial Tenaga Kerja & Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Wakatobi, dan Dinas Tenaga Kerja & Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Sulawesi Tenggara, serta Mentri Tenaga Kerja & Transmigrasi Republik Indonesia (Mennakertrans RI), bungkam dan terkesan tutup mata, serta tutup telinga seolah-oleh tidak tahu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT WR, meski pihak SPBI PT WR sudah berkali-kali mengadukan pelanggaran tersebut kepada stake holder terkait yang bertanggungjawab dalam menangani masalah perburuhan.

Berbagai upaya dan tahapan telah dilakukan oleh SPBI PT WR dalam menuntut hak normatif mereka agar dipenuhi oleh pihak pengusaha. Namun, semua mengalami jalan buntu dan tidak membuahkan hasil, karena sepertinya pihak perusahaan telah melakukan persekongkolan jahat dengan pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan, mulai dari tingkat kabupaten hingga pusat. Tahapan-tahapan yang telah dilakukan oleh SPBI PT WR dalam perjuangannya menuntut hak normatif mereka (buruh PT WR) diantaranya adalah:

Pertama: menyurati pihak manajemen PT WR yang ditembuskan kepada owner (pemilik perusahaan) dan institusi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan, namun tidak direspon sama sekali.
Kedua: melakukan perundingan bipartit (perundingan antara buruh dengan pengusaha), juga tidak membuahkan hasil.

Ketiga: perundingan tripartit (perundingan antara buruh, pengusaha dan pemerintah) yang diinisiasi oleh pihak Disnakertransos Kabupaten Wakatobi, juga tidak membuahkan hasil.
Keempat: sidang mediasi yang difasilitasi oleh mediator hubungan industrial (MHI) asal Disnakertrans Provinsi Sulawesi Tenggara, malah mengeluarkan surat anjuran MHI yang terang-benderang berpihak kepada pengusaha.

Kelima: melaporkan pelanggaran hak normatif yang dilakukan oleh PT WR kepada Dirjen Binawas Mennakertrans RI, yang juga tidak jelas penanganan dan hasilnya seperti apa, kendati beberapa kali pihak Binawas melakukan pemeriksaan terhadap pengusaha.

Keenam: melakukan perundingan dengan pihak owner (pemilik perusahaan) di Kantor Mennakertrans RI, dimana SPBI PT WR diwakili oleh induk organisasinya, Konfederasi Serikat Nasional (KSN), namun pihak pengusaha juga tidak mau menjalankan hak normatifnya dan tetap ingin melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap buruhnya yang mogok kerja menuntut hak normatif.

Ketujuh: perundingan lanjutan yang digelar di Kantor Pusat PT WR (di pulau Bali) antara manajemen perusahaan yang didampingi kuasa hukumnya dengan SPBI PT WR yang diwakili oleh DPP KSN, yang juga berakhir deadlock karena pihak perusahan tetap mengajukan tawaran PHK dan uang pisah (bukan pesangon) yang ditolak oleh DPP KSN.

Sudah sekian banyak tahapan dan proses yang telah ditempuh oleh SPBI PT WR dalam menuntut hak-hak normatifnya, namun pihak PT WR tetap saja pada pendiriannya dengan sengaja melawan hukum dan malah melakukan PHK secara sepihak terhadap seluruh buruhnya yang menggelar aksi mogok sejak tanggal 7 Februari 2012 hingga saat ini, 7 Februari 2013. Walau demikian, semangat SPBI PT WR yang mogok tak surut jua, mereka tetap mogok dan saat ini tengah mempersiapkan gugatannya untuk diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).

Menurut Sekretaris SPBI PT WR, Ahmad Ode Tarani, bahwa seluruh anggota SPBI PT WR yang mogok kerja sejak tanggal 7 Februari 2012 telah di-PHK secara sepihak oleh manajemen PT WR pada tanggal 11 Juli 2012 tanpa melalui penetapan PHI. Tindakan ini adalah pelanggaran hukum. Bahkan menurut Ahmad, dirinya sebelum mogok sudah di-PHK secara sepihak oleh manajemen PT WR, tepatnya pada tanggal 31 Januari 2012, yakni dua hari setelah memasukkan surat penyampaian mogok kerja kepada pihak perusahaan (pengusaha), yang menurut Ahmad, adalah praktek union busting (pembrangusan serikat).

Perlakuan jahat manajemen PT WR tidak hanya memberangus serikat dengan melakukan PHK sepihak terhadap buruhnya tanpa melaui penetapan PHI. Namun, manajemen PT WR juga pernah melakukan penganiayaan terhadap buruh yang mogok di lokasi perusahaan.

Buruh PT. Wakatobi Resort, Mogok Kerja
Sambil Menggelar Aksi Unjukrasa
Penganiayaan itu terjadi bertepatan dengan peringatan May Day 2012. Kala itu manager hotel PT WR I, Gede Kawit, naik pitam ketika para buruh berhasil menduduki lokasi perusahaan dengan bantuan solidaritas Front Oposisi Rakyat Indonesia Wakatobi (FORI- Wakatobi) yang melibatkan ratusan nelayan dan warga Kecamatan Tomia, Kabupaten Wakatobi, setelah berhasil menerobos blokade aparat kepolisian dan security perusahaan.

Buruh yang jadi korban penganiayaan itu adalah kawan Suwese Iri. Saat dianiaya oleh manajemen dengan beberapa kali pukulan yang dilayangkan oleh Kawit, Suwese sempat tersungkur jatuh. 

Perlakuan Kawit terhadap Suwese ketika itu menyulut kemarahan massa dan Kawit nyaris dihakimi massa FORI Wakatobi. Beruntung Kawit dievakuasi secepatnya oleh aparat kepolisian dari Polsek Tomia, yang melakukan pengamanan aksi, dan koordinator lapangan FORI Wakatobi, Ahmad, berhasil menenangkan massa yang mengamuk karena tidak menerima perlakuan Kawit terhadap Suwese.

Pasca insiden penganiayaan Suwese, massa FORI Wakatobi mengantar Suwesi ke Puskesmas Waha guna mendapatkan perawatan dan visum dokter usai aksi peringatan May Day. Setelah mendapat perawatan medis dan dibolehkan kembali ke rumah kediamannya, Suwese, yang ditemani oleh beberapa rekannya langsung menuju Kantor Polsek Tomia untuk melapor. Namun saat tiba di Polsek, tak seorangpun anggota Polsek Tomia yang berada di kantor, karena seluruh personil saat itu diterjunkan ke lokasi PT WR untuk mengantisipasi amukan massa pasca penganiayaan Suwese.

Saat itu, terpaksa Suwese tidak jadi melaporkan penganiayaan yang dialaminya. Keesokan hari, tepat pada tanggal 2 mei 2012, baru Suwese melaporkan kasus penganiayaan yang dialaminya kepada pihak aparat Polsek Tomia.

Kendati kasus penganiayaan yang dialami oleh Suwese, telah dilaporkan kepada pihak kepolisian setempat, dan beberapa saksi telah dimintai keterangannya oleh penyidik, serta Kawit telah ditetapkan sebagai tersangka (TSK), namun TSK tidak ditahan dan hanya terkena wajib lapor dua kali seminggu (Senin dan Kamis) sesuai Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) yang disampaikan oleh Kapolsek Tomia IPTU La Ode Sahabuddin Sambo.

Walau kasusnya sudah hampir setahun ditangani oleh pihak Polsek Tomia, hingga saat ini, menurut informasi penyidiknya BRIPTU La Ode Armani, berita acara pemeriksaan (BAP) TSK Kawit sudah berkali-kali bolak-balik dari Kejaksaan Negeri. Penanganan kasus penganiayaan Suwese yang diproses pihak kepolisian terkesan sangat lamban dan mengistimewakan TSK, karena TSK tidak pernah ditahan serta hanya wajib lapor sebanyak dua kali seminggu, ujar Ahmad yang juga Sekretaris SPBI PT WR.

Sejumlah Buruh PT. Wakatobi Resort, 
Dijemput Paksa Aparat Kepolisian
Karena Dilaporkan Oleh Pengusaha
Melakukan Penyerobotan 
Lahan Perusahaan
Sementara itu, laporan pihak perusahaan ke Polres Wakatobi, “penyerobotan” buruh yang mogok (anggota SPBI PT WR) begitu cepat direspon dan penanganannya terkesan sangat diistimewakan, dan maraton prosesnya. Ungkapan ini dapat dibuktikan dengan penjemputan paksa (penangkapan) para anggota SPBI PT WR yang mo
gok pada tanggal 15 september 2012 oleh aparat gabungan personil Polsek Tomia Timur, Polsek Tomia dan Polres Wakatobi, setelah dilaporkan oleh pihak perusahaan (PT WR) dengan tuduhan menyerobot lokasi perusahaan, karena melakukan aksi pendudukan pada tanggal 12- 13 Agustus 2012 di perusahaan, dengan bermalam di lokasi mogok.

Pihak perusahaan melaporkan anggota SPBI PT WR ke Polres Wakatobi pada tanggal 24 agustus 2012 dengan alasan menyerobot, karena para buruh yang mogok tidak diizinkan melakukan mogok kerja di lokasi perusahaan, walau sebelumnya sudah ada pemberitahuan aksi bahwa SPBI PT WR akan menggelar mogok kerja di lokasi tersebut.

Penangkapan para anggota SPBI PT WR yang mogok dilakukan oleh gabungan aparat Polres Wakatobi bersama jajarannya ketika para buruh tidak memenuhi Surat Panggilan Pertama dari penyidik Polres Wakatobi. “Satu persatu, saya dan kawan-kawan anggota SPBI PT WR yang dilaporkan oleh pihak perusahaan diciduk di rumah kediaman kami kala itu,” tutur Ahmad, sembari mengatakan, pada saat penangkapan, rumah mereka dikepung puluhan aparat kepolisian layaknya pelaku kejahatan atau kriminal yang di-DPO-kan.

Pada hari itu juga, para anggota dan pengurus SPBI PT WR yang ditangkap dibawa ke Mapolres Wakatobi dan secara bergantian diproses oleh penyidik selama sepekan (tujuh hari). Beruntung, setelah jadi penghuni Mapolres Wakatobi dan usai diperiksa, akhirnya para anggota SPBI PT WR diizinkan kembali ke rumah mereka.

Pada tanggal 2 Oktober 2012, anggota SPBI PT WR yang dilaporkan oleh pihak manajemen PT WR kembali diundang oleh Kasat Reskrim Polres Wakatobi AKP Ahali, SH, MH, untuk menghadiri gelar perkara laporan penyerobotan lokasi perusahaan.

Kendati sudah melakukan gelar perkara terkait penyerobotan lokasi perusahaan yang disangkakan kepada peserta mogok kerja, yang dianggap tidak cukup bukti, namun hingga kini kasus tersebut belum jelas apakah akan dilanjutkan ke proses lebih lanjut atau tidak, jelas Ahmad, seraya mengatakan bahwa jika kasus ini dinyatakan tidak cukup bukti dan tidak memenuhi unsur pidana, maka tentunya pihak penyidik Polres Wakatobi akan mengeluarkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3).

1 komentar:

  1. Ayo terus berlawan kawan-kawan SBA Wakatobi Resort.
    Hancurkan pengusaha yang menindas buruh. Juatan buruh berjuang bersama kalian

    BalasHapus

Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) tidak bertanggung jawab atas komentar yang anda tulis pada halaman komentar, admin situs ini juga akan menghapus komentar yang tidak objektif dan atau postingan yang berbau SARA.