TDL
Naik Kaum Buruh Yang Dikorbankan
Oleh: William Marthom (Sekretaris PRP Palopo)
Negara tak henti- hentinya memperlihatkan keberpihakannya kepada kaum pemodal (pengusaha atau pemilik alat produksi) adalah sebuah bukti konkrit penerapan sistem kapitalisme- neoliberalisme di Indonesia. Keberpihakan negara terhadap kaum pemodal dapat dibuktikan dengan beberapa fakta konkrit dalam fenomena kehidupan kaum buruh.
Untuk mengupas fakta keberpihakan negara terhadap kaum pemodal agar dapat dipastikan kebenarannya , 'penulis', akan menggambarkannya dalam beberapa peristiwa terbaru yang dapat dijamin belum terlupakan karena waktu kejadiannya masih segar diingatan kita (akhir tahun 2012 dan awal 2013).
Pertama; ketika kaum buruh menggelar aksi besar- besaran dan pemogokan massal di berbagai daerah, khususnya di kota- kota besar, menuntut kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/ kota (UMK) di akhir tahun 2012. Keberpihakan negara terhadap kaum pemodal terang benderang ketika alat represif negara (TNI/Polri) melakukan tindakan represif terhadap kaum buruh, selain itu Polri sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam mengamankan pelaksanaan aksi unjukrasa dan aksi mogok yang digelar para buruh, 'terkesan', melakukan pembiaran saat preman bayaran pengusaha menyerang para buruh yang mogok. Kejadian itu terjadi diakhir tahun 2012 dan diawal 2013, bahkan kejadian serupa marak terjadi setiap kaum buruh menggelar aksi unjukrasa maupun mogok belakangan ini.
Kedua; ditengah maraknya aksi buruh yang menentang ancaman wolck out (penutupan pabrik) dan penangguhan upah oleh pengusaha pasca penetapan UMP dan UMK, pemerintah lewat Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Mennakertrans) justru mengeluarkan, 'surat edaran', yang mengintruksikan jajaran pemerintah khususnya yang paling bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan (Disnakertrans) agar mempermudah proses penangguhan upah yang diajukan oleh pengusaha yang tidak mampu membayar UMP dan atau UMK. Surat edaran tersebut ditandatangani langsung oleh Mennakertrans RI Muhaemin Iskandar, hal itu adalah bukti konkrit keberpihakan negera terhadap kaum pemodal dan mengorbankan kaum buruh.
Ketiga; ditengah sulitnya memenuhi standar kebutuhan hidup layak (KHL) pemerintah lewat mentri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) justru mengeluarkan Peraturan Mentri (Permen) tentang Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) Sebesar 15%. Kebijakan negera yang menaikkan TDL 15% adalah, "sebuah bukti nyata agenda pemerintah untuk mensubsidi pengusaha dan mengorbankan kaum buruh secara massal".
Statemen diatas akan kita amini setelah membedah secara cermat Permen ESDM tentang Kenaikan TDL, yang ditandatangani oleh Mentri ESDM RI, Jero Wacik, pada tanggal, 21 Desember 2012. Dalam Permen tersebut dijelaskan bahwa kenaikan TDL sebesar 15% akan dinaikkan secara bertahap per-triwulan hingga mencapai akumulasi kenaikan sebesar 15%. Dan kenaikan TDL pada tahap awal sebesar 5,3% yang berlaku per- 1 January 2013.
Memang dalam tipu muslihat pemerintah kali ini sangat halus jika tidak ditelisik secara seksama dan teliti sebab kenaikan TDL sebesar 15% kali ini tidak berlaku bagi pelanggan PLN yang menggunakan daya 450 dan 900 Watt (Volt Ampere), karena dianggap belum mampu oleh pemerintah, akan tetapi dalam kebijakan tersebut pemerintah juga mensubsidi kaum pemodal (Industri Garmen) yang hanya dikenakan TDL dibawah 15%. Subsidi terhadap, 'Industri Garmen', ini perlu dipertanyakan sebab usaha mikro atau usaha kecil seperti tukang jahit atau usaha meubel tidak disubsidi sedangkan perusahan yang bergerak di sektor Garmen disubsidi, "padahal sama- sama mengandalkan listrik sebagai tenaga utamanya dalam menjalankan aktivitas produksinya".
Hal miris juga selain itu adalah dampak dari kenaikan TDL terhadap kaum buruh, khususnya bagi buruh yang bekerja di perusahaan pengguna listrik sebagai tenaga utamanya seperti perusahaan baja atau metal, serta pabrik gelas. Sebab kenaikan TDL akan mempengaruhi cosh produksi (biaya produksi) perusahaan tersebut yang akan membuat pengusaha dan atau manajemen perusahaan mengambil beberapa langka sbb:
Pertama; akan menekan upah buruhnya, seperti melakukan penangguhan upah.
Kedua; melakukan efesiensi atau pengurangan tenaga kerjanya dan atau pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya.
Ketiga; memanfaatkan momentum kenaikan TDL untuk merubah status buruh/karyawannya dari buruh tetap (PKWTT) menjadi buruh tidak tetap atau kontrak (PKWT), bahkan berstatus outsourcing.
Karena momentum TDL dapat dijakan alasan untuk melakukan PHK massal dengan alasan efesiensi atau failit yang melegalkan PHK massal terjadi. Namun beberapa bulan setelah pengusaha mem- PHK buruhnya yang berstatus buruh tetap, kemudian merekrut buruh/karyawan baru dengan sistem kerja kontrak atau outsourcing.
"Jadi kenaikan TDL sama halnya ajang dimana negara mengorbankan kaum buruh Indonesia", dan menyelamatkan kaum pemodal atau pengusaha.
Oleh: William Marthom (Sekretaris PRP Palopo)
Negara tak henti- hentinya memperlihatkan keberpihakannya kepada kaum pemodal (pengusaha atau pemilik alat produksi) adalah sebuah bukti konkrit penerapan sistem kapitalisme- neoliberalisme di Indonesia. Keberpihakan negara terhadap kaum pemodal dapat dibuktikan dengan beberapa fakta konkrit dalam fenomena kehidupan kaum buruh.
Untuk mengupas fakta keberpihakan negara terhadap kaum pemodal agar dapat dipastikan kebenarannya , 'penulis', akan menggambarkannya dalam beberapa peristiwa terbaru yang dapat dijamin belum terlupakan karena waktu kejadiannya masih segar diingatan kita (akhir tahun 2012 dan awal 2013).
Pertama; ketika kaum buruh menggelar aksi besar- besaran dan pemogokan massal di berbagai daerah, khususnya di kota- kota besar, menuntut kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/ kota (UMK) di akhir tahun 2012. Keberpihakan negara terhadap kaum pemodal terang benderang ketika alat represif negara (TNI/Polri) melakukan tindakan represif terhadap kaum buruh, selain itu Polri sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam mengamankan pelaksanaan aksi unjukrasa dan aksi mogok yang digelar para buruh, 'terkesan', melakukan pembiaran saat preman bayaran pengusaha menyerang para buruh yang mogok. Kejadian itu terjadi diakhir tahun 2012 dan diawal 2013, bahkan kejadian serupa marak terjadi setiap kaum buruh menggelar aksi unjukrasa maupun mogok belakangan ini.
Kedua; ditengah maraknya aksi buruh yang menentang ancaman wolck out (penutupan pabrik) dan penangguhan upah oleh pengusaha pasca penetapan UMP dan UMK, pemerintah lewat Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Mennakertrans) justru mengeluarkan, 'surat edaran', yang mengintruksikan jajaran pemerintah khususnya yang paling bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan (Disnakertrans) agar mempermudah proses penangguhan upah yang diajukan oleh pengusaha yang tidak mampu membayar UMP dan atau UMK. Surat edaran tersebut ditandatangani langsung oleh Mennakertrans RI Muhaemin Iskandar, hal itu adalah bukti konkrit keberpihakan negera terhadap kaum pemodal dan mengorbankan kaum buruh.
Ketiga; ditengah sulitnya memenuhi standar kebutuhan hidup layak (KHL) pemerintah lewat mentri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) justru mengeluarkan Peraturan Mentri (Permen) tentang Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) Sebesar 15%. Kebijakan negera yang menaikkan TDL 15% adalah, "sebuah bukti nyata agenda pemerintah untuk mensubsidi pengusaha dan mengorbankan kaum buruh secara massal".
Statemen diatas akan kita amini setelah membedah secara cermat Permen ESDM tentang Kenaikan TDL, yang ditandatangani oleh Mentri ESDM RI, Jero Wacik, pada tanggal, 21 Desember 2012. Dalam Permen tersebut dijelaskan bahwa kenaikan TDL sebesar 15% akan dinaikkan secara bertahap per-triwulan hingga mencapai akumulasi kenaikan sebesar 15%. Dan kenaikan TDL pada tahap awal sebesar 5,3% yang berlaku per- 1 January 2013.
Memang dalam tipu muslihat pemerintah kali ini sangat halus jika tidak ditelisik secara seksama dan teliti sebab kenaikan TDL sebesar 15% kali ini tidak berlaku bagi pelanggan PLN yang menggunakan daya 450 dan 900 Watt (Volt Ampere), karena dianggap belum mampu oleh pemerintah, akan tetapi dalam kebijakan tersebut pemerintah juga mensubsidi kaum pemodal (Industri Garmen) yang hanya dikenakan TDL dibawah 15%. Subsidi terhadap, 'Industri Garmen', ini perlu dipertanyakan sebab usaha mikro atau usaha kecil seperti tukang jahit atau usaha meubel tidak disubsidi sedangkan perusahan yang bergerak di sektor Garmen disubsidi, "padahal sama- sama mengandalkan listrik sebagai tenaga utamanya dalam menjalankan aktivitas produksinya".
Hal miris juga selain itu adalah dampak dari kenaikan TDL terhadap kaum buruh, khususnya bagi buruh yang bekerja di perusahaan pengguna listrik sebagai tenaga utamanya seperti perusahaan baja atau metal, serta pabrik gelas. Sebab kenaikan TDL akan mempengaruhi cosh produksi (biaya produksi) perusahaan tersebut yang akan membuat pengusaha dan atau manajemen perusahaan mengambil beberapa langka sbb:
Pertama; akan menekan upah buruhnya, seperti melakukan penangguhan upah.
Kedua; melakukan efesiensi atau pengurangan tenaga kerjanya dan atau pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruhnya.
Ketiga; memanfaatkan momentum kenaikan TDL untuk merubah status buruh/karyawannya dari buruh tetap (PKWTT) menjadi buruh tidak tetap atau kontrak (PKWT), bahkan berstatus outsourcing.
Karena momentum TDL dapat dijakan alasan untuk melakukan PHK massal dengan alasan efesiensi atau failit yang melegalkan PHK massal terjadi. Namun beberapa bulan setelah pengusaha mem- PHK buruhnya yang berstatus buruh tetap, kemudian merekrut buruh/karyawan baru dengan sistem kerja kontrak atau outsourcing.
"Jadi kenaikan TDL sama halnya ajang dimana negara mengorbankan kaum buruh Indonesia", dan menyelamatkan kaum pemodal atau pengusaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Serikat Rakyat Miskin Demokratik (SRMD) tidak bertanggung jawab atas komentar yang anda tulis pada halaman komentar, admin situs ini juga akan menghapus komentar yang tidak objektif dan atau postingan yang berbau SARA.